Archive for referat

Odontologi

Pendahuluan

Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perkembangan social budaya mengakibakan tingginya angka kecelakaan, pembunuhan dan peristiwa – peristiwa lain yang kadang – kadang mengakibatkan kesulitan dikenalinya korban tersebut. Di lain pihak adanya tuntutan untuk segera dilakukannya identifikasi secara tepat pada korban tersebut. Dan salah satu identifikasi yang paling penting adalah umur.

Penentuan umur dapat dilakukan dengan pemeriksaan penutup sutura, inti penulangan, penyatuan tulang serta pemeriksaan gigi.

Penggunaan gigi sebagai identifikasi memberikan keuntungan dikarenakan sifat gigi yang keras dan tahan terhadap cuaca, kimia, maupun trauma. Selain itu gigi manusia mempunyai sifat diphypodensi dimana setiap gigi mempunyai konfigurasi dan relief yang berbeda dan perubahan yang terjadi karena umur atau proses patologis/intervensi pada gigi dapat menjadi informasi lain. Dalam tinjauan kepustakaan ini akan membahas tentang penentuan umur berdasarkan identifikasi gigi.(1)

PEMBAHASAN

 

1 ANATOMI DAN MORFOLOGI GIGI MANUSIA1.1.   Anatomi Gigi(2)

Gigi manusia terdiri dari tiga

  1. Akar gigi, yang berfungsi menopang gigi dan merupakan bagian gigi yang terletak didalam tulang rahang.
  2. Mahkota gigi yaitu bagian gigi yang berada diatas ginggiva.
  3. Leher gigi, yaitu bagian yang menghubungkan akar gigi dengan mahkota gigi.

1.2.   Struktur Gigi(2)

Badan dari gigi terdiri dari :

  1. Email, merupakan jaringan keras yang mengelilingi mahkota gigi dan berfungsi membentuk struktur luar mahkota gigi dan membuat gigi tahan terhadap tekanan dan abrasi. Email tersusun dari mineral anorganik terutama kalsium dan fosfor, zat organic dan air.
  2. Dentin, merupakan bagian dalam struktur gigi yang terbanyak dan berwarna kekuningan. Dentin bersifat lebih keras dari pada tulang tetapi lebih lunak dari email. Dentin terdiri dari 70 % bahan organic, terutama Kalsium dan fosfor serta 30 % bahan organic dan air.
  3. Sementum, merupakan jaringan gigi yang mengalami kalsifikasi dan menutup akar gigi. Sementum berfungsi sebagai tempat melekatnya jaringan ikat yang memperkuat akar gigi pada alveolus. Sementum lebih lunak dari dentin dan terdiri dari 50% bahan organic berupa Kalsium dan Fosfor dan 50% bahan organic.
  4. Pulpa, merupakan jaringan ikat longgar yang menempati bagian ruang tengah pulpa dan akar gigi. Pada pulpa terkandung pembuluh darah, syaraf, dan sel pembentuk dentin. Pulpa berisi nutrisi dan berfungsi sebagai sensorik.

1.3.      Morfologi gigi. (2)

Menurut masa pertumbuhan gigi manusia terbagi menjadi dua, yaitu :

  1. Gigi susu

Gigi susu berjumlah 20 buah dan mulai tumbuh pada umur 6 -9 bulan dan lengkap pada umur 2 – 2,5 tahun. Gigi susu terdiri dari 5 gigi pada setiap daerah rahang masing – masing adalah : 2 gigi seri (incicivus),1 gigi taring

  1. Gigi permanen

Gigi permanen berjumlah 28 – 32 terdiri dari 2 gigi seri, 1 gigi taring, 2 gigi premolar, dan 3 gigi molar pada setiap daerah rahang. Gigi permanen menggantikan gigi susu. Antara umur 6 – 14 tahun 20 gigi susu diganti gigi permanen. Gigi molar 1 dan 2 mulai erupsi pada umur 6 – 12 tahun sedangkan gigi molar 3 mulai erupsi pada umur 17 – 21 tahun.

1.4 Nomenklatur Gigi

 

Nomenklatur yang biasa dipakai adalah :

  1. Cara Zsigmondy
  2. Cara Palmer
  3. Cara FID ( Federation Internationale Dentaire )

Cara Zsigmondy

Gigi susu

V IV III II I                  I II III IV V

V IV III II I                  I II III IV V

Gigi tetap

8 7 6 4 3 2 1                1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 4 3 2 1                1 2 3 4 5 6 7 8

Contoh penulisan :

V      : gigi susu m2 kanan atas

6            : gigi tetap M1 kiri bawah

 

Cara Palmer

Gigi susu

E D C B A                  A B C D E

E D C B A                  A B C D E

Gigi tetap

8 7 6 4 3 2 1                1 2 3 4 5 6 7 8

8 7 6 4 3 2 1                1 2 3 4 5 6 7 8

Contoh penulisan :

E      : gigi susu m2 kanan atas

6          : gigi tetap M1 kiri bawah

 

 

 

 

 

 

Cara FID ( Federation Internationale Dentaire )

Dengan menggunakan sstem 2 angka :

Gigi Tetap :

1-               2-

4-        3-

18 17 16 15 14 13 12 11                    21 22 23 24 25 26 27 28

48 47 46 45 44 43 42 41                    31 32 33 34 35 36 37 38

Gigi Susu

5-        6-

8-            7-

55 54 53 52 51                        61 62 63 64 65

85 84 83 82 81                        71 72 73 74 75

Contoh penulisan :

55                : gigi susu m2 kanan atas

36                : gigi tetap M1 kiri bawah

2.2 EMBRIOLOGI DAN PERKEMBANGAN GIGI MANUSIA

Gigi memiliki tiga periode pertumbuhan yaitu :

  1. Periode Proliferasi

Pertumbuhan gigi mulai bulan keenam dari kehidupan embrio ( 11 mm embrio ) dengan bentukan tonjolan gigi primordial. Diferensiasi pertumbuhan gigi berkembang dari ectoderm dan mesoderm.

Pembentukan gigi diawali dari pembentukan enamel, kemudian berdiferensiasi menjadi dentin, pulpa, sementum, dan ligament periodontal.

Tonjolan gigi berasal dari invaginasi proliferatif dari ectoderm epitel mulut dan diikuti difernsiasi dari mesenkial mesoderm berdekatan. Epitel mulut berdiferensiasi menjadi enamel yang memproduksi ameloklast dan dentin yang memproduksi odontoblast yang muncul dari mesoderm.

Pulpa gigi terdiri dari jaringan ikat mesoderm, pembuluh darah dan saraf yang berkembang secara sentral dalam cangkang luar gigi yang membentuk dentin dan enamel. Invaginasi Tonjolan gigi berpisah dari tonjolan epitel mulut dan terus berkembang secara bertahap dan diikuti pembentukan tulang maxilla, mandibula, gigi seri, gigi taring.

Gigi susu terbentuk sampai umur 3 – 4 bulan (fetus), sedangkan untuk gigi tetap, gigi belakang ( premolar dan molar ) sampai dengan stadium III kehamilan, sedangkan untuk gigi incicivus lateralis sampai dengan stadium II kehamilan.

  1. Periode kalsifikasi

Kalsifikasi jaringan email dan dentin merupakan aposisi, mulai 4 bulan intrauterine sampai dengan usia 3 tahun setelah lahir untuk gigi susu, sedang untuk gigi tetap antara lain :

▪  Gigi I1 mulai 4 bulan intrauterine sampai dengan usia 1,5 tahun setelah

lahir.

▪  Gigi I2 mulai 6 bulan intrauterine sampai dengan usia 2 atau 3 tahun,

begitu pula untuk gigi M1 atas dan gigi M2 bawah. Untuk gigi M2 atas

dan bawah sampai dengan usia 3 tahun. Sedangkan untuk gigi caninus

atas dan bawah sampai dengan usia 3,5 tahun.

  1. Periode erupsi

Periode erupsi ini sangat bervariasi, tergantung dari beberapa factor antara lain :

▪  Pertumbuhan memanjang dari gigi.

▪  Multiplikasi dari jaringan pulpa.

▪  Deposisi dari jaringan baru jaringan cement.

▪  Pertumbuhan jaringan tulang rawan.

Gigi dapat memberi informasi apakah seseorang itu anak – anak atau remaja.

2.3 PENENTUAN UMUR BERDASARKAN PEMERIKSAAN GIGI

Metode yang sering digunakan untuk seseorang berdasar pemeriksaan gigi antara lain :

  1. Metode Schour dan Massler

Schour dan Massler membuat table tentang gambaran pertumbuhan gigi mulai dari lahir sampai dengan umur 21 tahun, yang banyak digunakan dalam ilmu kedokteran gigi klinis khususnya ordontis untuk merencanakan atau mengevaluasi perawatan gigi.

Tabel ini biasa dibunakan untuk mempelajari gigi geligi dimana yang sudah seharusnya tanggal atau seharusnya sudah tumbuh pada umur tertentu. Untuk penentuan umur penggunaannyajustru melihat gigi ayng sudah ada didalam mulut dan menentukan umurnya dengan bantuan table Schour dan Massler.

  1. Tabel Gustaffson dan Koch

Pada prinsipnya sama dengan sChour dan Massler, hanya pada table Gustaffson untuk setiap gigi ini diberikan perkiraan jadwal yang lebih lengakap, mulai dari pembentukan, mineralisasi, pertumbuhan ke dalam mulut sapai pada penutupan foramen apicalis, sejak dalam kandungan hingga umur 16 tahun.

  1. Metode Gustaffson

Penentuan umur berdasarkan table Gustaffson – Koch pada umumnya bermanfaat selama gigi masih dalam masa pertumbuhan. Untuk memperkirakan umur seseorang setelah masa itu digunakan 6 metode dari Gustaffson.

a.atrisi

Penggunaan gigi setiap hari  membuat gigi mengalami keausan yang sesuai dengan bertambahnya usia.

b. Sekunder dentin

Sejalan dengan adanya atrisi, maka di dalam ruang pulpa akan dibentuk sekunder dentin untuk melindungi gigi, sehingga semakin bertambah usia maka sekunder dentin akan semakin tebal.

c. Ginggiva attachment

Pertambahan usia juga ditandai dengan besarnya jarak antara perlekatan gusi dan gigi.

d. Pembentukan foramen apikalis

Semakin lanjut usia, semakin kecil juga foramen apikalis.

e. Transfarasi akar gigi

Semakin tua usia seseorang maka akar giginya semakin bening, hal ini dipengaruhi oleh mineralisasi yang terjadi selama kehidupan.

f. Sekunder sement

Ketebalan semen sangat berhubungan dengan usia. Dengan bertambahnya usia ketebalan sement pada ujung akar gigi juga semakin bertambah.

  1. Neonatal dan Von Ebner Lines

Garis-garis incremental Von Ebner dan Neonatal, dapat dilihat pada gigi yang telah disiapkan dalam bentuk sediaan asahan dengan ketebalan 30-40 mikron. Pada gigi susu dan Molar 1 (yaitu gigi-gigi yang ada pada waktu kelahiran), akan ditemukan neonatal line berupa garis demarkasi yang memisahkan bagian dalam email (yang terbentuk sebelum kelahiran) dengan bagian luar enamel (yang terbentuk setelah lahir). Selanjutnya juga akan ditemukan garis-garis incremental Von Ebner yang merupakan transisi antara periode pertumbuhan cepat dan pertumbuhan lambat yang berselang-seling.

Jarak rata-rata antara garis ini adalah 4 mikron yang merupakan kecepatan deposisi dentin dalam 24 jam. Apabila pembentukan gigi belum selesai, perhitungan garis Von Ebner dari neonatal line dapat membantu penentuan umur.

  1. Metode Asam Aspartat

Hapusan asam aspartat telah digunakan untuk menentukan usia berdasarkan pada terdapatnya bahan tersebut pada dentin manusia. Komponen protein terbanyak pada tubuh manusia berbentuk L-amino Acid, D-amino acid yang ditemukan pada tulang, gigi, otak dan lensa mata. D-amino acid dipercaya mempunyai proses metabolisme yang lambat dan tiap bagiannya mempunyai laju pemecahan yang lebih lambat dan mempunyai ratio dekomposisi yang lebih lambat juga. Asam aspartat mempunyai kemampuan penghapusan paling tinggi dari semua asam amino.

Pada 1976 Helfman dan Bada menggunakan informasi ini untuk mempelajari perkiraan umur dengan membandingkan rasio D-Laspartat acid dengan 20 subyek dengan hasil bagus (r = 0,979) rasio yang tinggi pada D/L rasio banyak ditemukan pada usia muda dan menurun akibat pertambahan usia dan perubahan lingkungan.

Pada tahun 1990 Ritz et al. melaporkan adanya asam aspartat pada dentin untuk menentukan usia pada orang yang telah meninggal, berdasarkan hal tersebut metode ini dapat menyediakan informasi yang lebih akurat tentang penentuan usia dibandingkan dengan parameter yang lain.

Untuk penentuan usia digunakan persamaan linier sebagai berikut :

 

Ln (1 + D/L) / (1 – D/L) = 2k (aspartat)t + konstanta

K : first order kinetik

t : actual age

Gigi yang digunakan dalam kasus ini adalah gigi seri tengah bagian bawah dan premolar pertama. Mereka menemukan perkiraan umur yang lebih baik dari fraksi total asam amino dengan membagi menjadi fraksi kolagen yang tidak larut dan fraksi peptide. Dibandingkan dengan total asam amino, fraksi kolagen yang tidak larut dan fraksi peptide yang terlarut, mempunyai konsentrasi glutamine dan asam aspartat yang lebih tinggi.

 

KESIMPULAN

  1. Penggunaan gigi sebagai bahan identifikasi berdasarkan bahwa gigi manusia mempunyai sifat yang khas dan diphyodensi diman tiap individu mempunyai konfigurasi dan relief yang berbeda.
  2. Untuk dapat melakukan identifikasi gigi diperlukan pengetahuan yang baik tentang Anatomi, Morfologi, Dan Embriologi gigi manusia.
  3. Metode yang digunakan dalam penentuan usia berdasarkan identifikasi gigi antara lain :
    1. Tabel Schour dan Massler
    2. Tabel Gustaffson dan Koch
    3. Metode Gustaffson
    4. Neonatal dan Von Ebner Lines
    5. Metode Asam Aspartat

DAFTAR PUSTAKA

  1. Stimson, P. G, Mertz, C. A, 1997. Forensic Dentistry, CNC Press Boca Raton, New York.
  2. Clark, D. H, 1992, Practical Forensic Odontology, Butterworth-Heinemann Ltd, Melksham, Great Britain.

Comments (1)

SKOLIOSIS

I. PENDAHULUAN

Skoliosis berasal dari bahasa Yunani yaitu  “Crookednes” atau  kebengkokan. Skoliosis mempengaruhi ikatan sendi dan otot yang mengenai tulang belakang, yang menyebabkan tulang belakang, tulang rusuk dan tulang panggul bengkok. Banyak  penyebab yang berbeda dari scoliosis. Sebagian besar deformitas skoliosis adalah idiopatik (penyebab tidak diketahui). Namun yang lain dapat kongenital disertai dengan gangguan atau sindroma neuromuscular, atau kompensator dari ketidakcocokan panjang kaki atau kelainan intraspinal.

Seringkali seseorang dengan skoliosis telah mengalami kondisi ini sejak masa kanak-kanak, namun karena skoliosis berkembang sangat cepat, kebanyakan kasus skoliosis tidak terdiagnosa sampai usia 10-14 tahun. Pada skoliosis, tulang belakang melengkung abnormal dari sisi ke sisi menyerupai bentuk “S”, dapat dilihat ketika kelengkungannya semakin parah dan juga mengakibatkan ketidaknyamanan. Jika kelengkungannya sudah menjadi sangat parah akhirnya dapat menganggu fungsi pernafasan dan jantung. Juga dapat merusak persendian tulang belakang serta rasa sakit di masa tua.

Kebanyakan pasien dengan skoliosis diobati tanpa melalui tindakan operasi, walaupun terkadang operasi dibutuhkan. Pengobatan skoliosis lebih efektif bila penyebab diketahui lebih dini.

II. DEFINISI

Skoliosis adalah kelengkungan tulang belakang di bidang frontal yang abnormal ke arah samping yang dapat terjadi pada segmen cervical (leher), thoracal (punggung), maupun lumbal (pinggang). Kurva yang terbentuk mungkin cembung ke kanan (lebih sering pada kurva level dada) atau ke kiri (lebih umum pada kurva punggung bawah). Tulang belakang mungkin berputar sekitar sumbunya, merusak bentuk tulang iga. Skoliosis sering diasosiasikan dengan kifosis dan punggung melengkung.

Secara sederhana, skoliosis terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :

1)      Skoliosis Struktural :

Terjadi kelengkungan atau rotasi tulang belakang ke arah samping pada satu sisi dan termasuk jenis skoliosis terburuk oleh karena dapat menjadi progresif.

Skoliosis struktural dibagi menjadi :

a) Idiopatik skoliosis

b) Congenital

c) Neuromuskular

2)      Skoliosis Fungsional :

Terjadi kelengkungan namun tidak terfiksasi dan tidak progresif. Skoliosis fungsional ini adalah skoliosis sekunder terhadap ketidaksesuaian panjang lengan.

Skoliosis dapat diukur dari derajat kelengkungannya. Orang yang menderita skoliosis dengan kelengkungan < 25° diperkirakan hanya akan mengalami asimetri pada arah tulang belakang saja. Pada anak-anak yang mengalami kelengkungan dengan derajat yang cukup besar maka dapat mengalami kelengkungan antara 25°-40° dan dapat mengalami kelainan bentuk selama masa pertumbuhannya. Penderita skoliosis dengan kelengkungan sebesar 300 pada masa remaja dapat mengalami kelengkungan yang semakin meningkat hingga mencapai 600. Itulah sebabnya penderita skoliosis harus segera menjalani terapi-terapi pengobatan atau treatment lainnya yang cukup bermanfaat untuk menghindari prognosa yang buruk

III. EPIDEMIOLOGI

Pada suatu populasi, hampir 2%nya mengalami kelainan tulang belakang, yaitu skoliosis. Kelainan tulang belakang ini, skoliosis, juga dapat disebabkan secara kongenital. Jika ada salah satu anggota keluarga mengalami skoliosis, kemungkinan akan terjadinya skoliosis pada anggota keluarga lain akan semakin besar (sekitar 20%).

Dari seluruh kasus skoliosis yang terjadi, 85% di antaranya berupa skoliosis non reversible, yang penyebabnya tidak diketahui atau disebut juga dengan skoliosis idiopatik.  Skoliosis idiopatik terbagi dalam empat kelompok, yaitu: jenis infantile yang muncul pada bayi sejak lahir hingga usia 3 tahun, jenis juvenile yang terdapat pada anak usia 3 tahun hingga usia awal pubertas, jenis adolescent yang terdapat pada remaja usia pubertas hingga akhir pubertas (akhir masa pertumbuhan), dan jenis adult yang terdapat pada usia di atas 20 tahun.

Sekitar 4% dari seluruh anak-anak usia 10 tahun hingga 14 tahun mengalami skoliosis. Dan 40 % sampai 60% di antaranya ditemukan pada anak perempuan. Pada remaja wanita juga sering terjadi skoliosis yang menyebabkan nyeri dan radang sendi punggung.

V. PENYEBAB

Skoliosis terlihat sebagai komplikasi dari banyak penyakit neuromuskular.  Kelainan bentuk skoliosis dapat terjadi secara struktural atau fungsional.

Terdapat 3 penyebab terjadinya skoliosis :

1)      Congenital (bawaan) :

Biasanya berhubungan dengan suatu kelainan pembentukan tulang belakang atau tulang rusuk yang menyatu.

Skoliosis congenital sekunder terhadap perkembangan vertebra yang abnormal. Anomali dapat disebabkan oleh kegagalan pembentukan vertebra parsial. Anomali yang paling lazim dari kategori ini adalah hemivertebra. Malformasi vertebra juga bisa disebabkan oleh kegagalan segmentasi, yang paling jelas adalah batang unilateral yang tidak bersegmen.

Anomali-anomali vertebra ini dapat menyebabkan skoliosis struktural nyata sejak kehidupan dini. Batang unilateral yang tidak berseragam, terutama mempunyai resiko progresivitas lengkung yang cepat. Skoliosis congenital dapat berhubungan dengan anomali congenital dari sistem organ-organ lain terutama ginjal dan jantung.

Gambar : Skoliosis kongenital pada bayi laki-laki usia 13 bulan

2) Neuromuskuler

Pengendalian otot yang buruk atau kelemahan / kelumpuhan akibat beberapa penyakit berikut :

a) Cerebral Palsy

b) Distrofi otot

c) Polio

d) Osteoporosis juvenile

Gambar Skoliosis Neuromuskuler

3) Idiopatik

Penyebabnya tidak diketahui. Dapat diperoleh melalui beberapa ciri genetik. Bentuk skoliosis ini tampak pada tulang belakang yang sebelunya tumbuh lurus selama bertahun-tahun.

Skoliosis idiopatik dapat melumpuhkan anak-anak (paling banyak menyerang bayi laki-laki antara lahir sampai usia 3 tahun), anak muda (menyerang kedua jenis kelamin antara 4-10 tahun), atau orang dewasa (biasanya menyerang anak perempuan usia 10 sampai usia subur).

Skoliosis idiopatik bertambah parah selama pertumbuhan. Kelaianan ini biasanya asimptomatik pada usia remaja, tetapi kurvatura berat dapat menimbulkan gangguan fungsi paru atau nyeri pinggang bagian bawah pada tahun-tahun selanjutnya.

V. GAMBARAN ANATOMI

Secara Anatomis,  penderita skoliosis menderita berbagai kelainan, seperti :

  1. Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping.
  2. Bahu dan atau pinggul kiri dan kanan tidak sama tingginya.
  3. Mengalami nyeri punggung
  4. Kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama

Skoliosis yang berat (dengan kelengkungan lebih besar) dapat menyebabkan gangguan pernafasan.

Lokasi terjadinya skoliosis pada umumnya di daerah sekitar rongga dada atau pada rongga dada hingga daerah pinggang. Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok dan pada tulang punggung bagian bawah, tulang belakang melengkung ke kiri, sehingga bahu kanan tampak lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri.

Gambar:  Berbagai contoh  lokasi skoliosis

VI. DIAGNOSA

A. Anamnesa

Pasien datang dengan keluhan kosmetik karena terdapat perbedaan antara bahu kanan dan kiri, Pada Skoliosis jarang yang mengeluh tidak nyaman atau nyeri, tetapi pada skoliosis yang berat (dengan kelengkungan yang lebih besar dari 60°) bisa menyebabkan gangguan pernafasan karena menurunkan kapasitas paru-paru, selain itu juga dapat terjadi sakit punggung, sakit pada pinggang dan paha, radang tulang belakang degeneratif, gangguan sendi, gangguan jantung, kesulitan jalan. Bila skoliosis disebabkan oleh tumor atau lesi pada spinal cord dapat menimbulkan nyeri punggung. Biasanya terjadi kelelahan pada tulang belakang setelah duduk atau berdiri lama.

Pertanyaan yang sebaiknya ditanyakan pada pasien antara lain :

  1. “Pada umur berapa kelengkungan tulang belakang pertama kali terlihat?”

(Penting untuk menentukan prognosis dan derajat keparahan skoliosis)

  1. “Siapa yang pertama kali mengetahuinya?”

(orang tua/guru/dokter)

    1. “Bagaimana keadaan ibunya ketika sedang mengandung dulu?”

(apakah ada kelainan atau suatu masalah  ketika kehamilan dulu)

    1. “Apakah pasien mengalami perkembangan yang normal?”

(berjalan, berbicara)

    1. “Apakah ada riwayat keluarga yang menderita Skoliosis Atau masalah tulang belakang lainnya?”

(karena 20 % akan mewarisi kelainan ini, bila dalam keluarganya ada yang menderita skoliosis)

    1. “Apakah pasien mengalami nyeri punggung?”

(Biasanya Soliosis pada anak atau remaja tidak menimbulkan nyeri.Bila terdapat nyeri,pemerikan selanjutnya harus dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan-kelainan yang lain.)

B. Inspeksi

Terdapat ciri- ciri penting, yaitu :

    1. Tulang belakang melengkung secara abnormal ke arah samping.
    2. Bahu kanan dan bahu kiri tidak simetris. Bahu kanan lebih tinggi daripada bahu kiri.
    3. Pinggang yang tidak simetris, salah satu pinggul lebih tinggi atau lebih menonjol daripada yang lain.
    4. Ketika membungkuk ke depan, terlihat dadanya tidak simetris.
    5. Badan miring ke salah satu sisi, paha kirinya lebih tinggi daripada paha kanan .
    6. Ketika memakai baju, perhatikan lipatan baju yang tak rata ,batas celana yang tak sama panjang.
    7. Untuk Skoliosis yg Idiopatik kemungkinan terdapat kelainan yang mendasarinya, misalnya neurofibromatosis yang harus diperhatikan adalah bercak “café au lait” atau Spina Bifida yang harus memperhatikan tanda hairy patches (sekelompok rambut yg tumbuh di daerah pinggang).
    8. Pasien berjalan dengan kedua kaki lebar.
    9. Perut menonjol.
    10. Sedangkan pada kasus yang berat dapat menyebabkan :
      1. i.      Kepala agak menunduk ke depan
      2. ii.      Punggung lurus dan tidak mobile
      3. iii.      Pangggul yang tidak sama tinggi

Kebanyakan pada punggung bagian atas, tulang belakang membengkok ke kanan dan pada punggung bagian bawah, tulang belakang membengkok ke kiri; sehingga bahu kanan lebih tinggi dari bahu kiri. Pinggul kanan juga mungkin lebih tinggi dari pinggul kiri. Selain itu pada inspeksi dapat dilihat bila penderita disuruh membungkuk maka akan terlihat perbedaan secara nyata ketinggian walaupun dalam keadaan tegap bisa dalam keadaan normal.

C. Palpasi

The Adam’s Forward Bending test

Pemeriksaan dilakukan dengan melihat pasien dari belakang yaitu dengan menyuruhnya membungkuk 90° ke depan  dengan lengan menjuntai ke bawah dan telapak tangan berada pada lutut.. Temuan abnormal berupa asimetri ketinggian iga atau otot-otot paravertebra pada satu sisi, menunjukan rotasi badan yang berkaitan dengan kurvatura lateral. Skoliosis torakalis kanan akan menunjukkan lengkung konveks ke kiri pada daerah torak yang merupakan tipe kurva idiopatik yang umum. Deformitas tulang iga dan asimetri garis pinggang tampak jelas pada kelengkungan 30° atau lebih.

Jika pasien dilihat dari depan asimetri payudara dan dinding dada mungkin terlihat. Tes ini sangat sederhana, hanya dapat mendeteksi kebengkokannya saja tetapi tidak dapat menentukan secara tepat kelainan bentuk tulang belakang. Pemeriksaan neurologis (saraf) dilakukan untuk menilai kekuatan, sensasi atau reflex.

D. Pemeriksaan Penunjang

  • Rontgen tulang belakang / plain foto

  • Test

a. Metode Cobb

Test ini digunakan untuk mengukur sudut kelengkungan dari tulang belakang .

Caranya:

–          Mengukur sudut Cobb dengan menggambar garis tegak lurus dari lempeng       ujung superior dari vertebra paling atas pada lengkungan (mengukur dari puncak T9 )

–          Dan garis tegak lurus dari lempeng akhir inferior vertebra paling bawah dari lengkungan (mengukur dari alas L3 )

–          Perpotongan dari kedua garis ini membentuk suatu sudut yang diukur.

Gambar Metode Cobb

VII. PENGOBATAN

Jenis terapi  yang dibutuhkan untuk skoliosis tergantung pada banyak faktor. Sebelum menentukan jenis terapi yang digunakan, dilakukan observasi terlebih dahulu. Terapi disesuaikan dengan etiologi,umur skeletal, besarnya lengkungan, dan ada tidaknya progresivitas dari deformitas. Keberhasilan terapi sebagian tergantung pada deteksi dini dari skoliosis.

A. Obat

Tujuan pemberian obat adalah untuk mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dan kemungkinan infeksi baik dari alat ataupun pembedahan, bukan untuk mengobati skoliosis.

Obat yang digunakan antara lain :

1. Analgesik

  • Asam Asetil Salisilat 3 x 500 mg
  • Paracetamol 3 x 500 mg
  • Indometacin 3 x 25 mg

2. NSAID (Non Steroid Anti Inflamation Drug)

B. Fisioterapi

  1. Terapi panas, dengan cara mengompres
  2. Alat penyangga, digunakan untuk skoliosis dengan kurva 25°-40° dengan skeletal yang tidak matang (immature). Alat penyangga tersebut antara lain :

Penyangga Milwaukee

Alat ini tidak hanya mempertahankan tulang belakang dalam posisi lurus, tetapi alat ini juga mendorong pasien agar menggunakan otot-ototnya sendiri untuk menyokong dan mempertahankan proses perbaikan tersebut. Penyangga harus dipakai 23 jam sehari. Alat penyangga ini harus terus digunakan terus sampai ada bukti objektif yang nyata akan adanya kematangan rangka dan berhentinya pertumbuhan tulang belakang selanjutnya.

Gbr. Alat penyangga Milwaukee untuk meluruskan

tulang belakang pada anak yang bertumbuh

“Penyangga Boston”

Suatu penyangga ketiak sempit yang memberikan sokongan lumbal atau torakolumbal yang rendah. Penyangga ini digunakan selama 16-23 jam sehari sampai skeletalnya matur. Terapi ini bertujuan untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang tidak dikehendaki oleh pasien.

Gbr. Alat penyangga Boston dapat digunakan pada skoliosis

bagian lumbal atau torakolumbal.

3. Terapi Stimulasi Otot-Otot Skoliosis

Kunci dari terapi ini adalah rehabilitasi dari otot dan ligamen yang menyangga tulang belakang. Rehabilitasi otot harus melalui sistem saraf pusat dengan tujuan agar pasien dapat  meningkatkan kekuatan otot sehingga otot dapat menyangga tulang belakang dengan posisi yang benar tanpa bantuan alat penyangga.

C. Tindakan Pembedahan

Umumnya, jika kelengkungan lebih dari 40 derajat dan pasien skeletalnya imatur, operasi direkomendasikan. Lengkung dengan sudut besar tersebut, progresivitasnya meningkat secara bertahap, bahkan pada masa dewasa. Tujuan terapi bedah dari skoliosis adalah memperbaiki deformitas dan mempertahankan perbaikan tersebut sampai terjadi fusi vertebra. Beberapa tindakan pembedahan untuk terapi skoliosis antara lain :

  1. Penanaman Harrington rods (batangan Harrington)

Batangan Harrington adalah bentuk peralatan spinal yang dipasang melalui pembedahan yang terdiri dari satu atau sepasang batangan logam untuk meluruskan atau menstabilkan tulang belakang dengan fiksasi internal. Peralatan yang kaku ini terdiri dari pengait yang terpasang pada daerah mendatar pada kedua sisi tulang vertebrata yang letaknya di atas dan di bawah lengkungan tulang belakang.

Keuntungan utama dari penggunaan batangan Harrington adalah dapat mengurangi kelengkungan tulang belakang ke arah samping (lateral), pemasangannya relatif sederhana dan komplikasinya rendah. Kerugian utamanya adalah setelah pembedahan memerlukan pemasangan gips yang lama. Seperti pemasangan  pada spinal lainnya , batangan Harrington tidak dapat dipasang pada penderita osteoporosis yang signifikan.

2. Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset

Peralatan Cotrell-Dubousset meliputi pemasangan beberapa batangan dan pengait untuk menarik, menekan, menderotasi tulang belakang. Alat yang dipasang melintang antara kedua batangan untuk menjaga tulang belakang lebih stabil.

Pemasangan peralatan Cotrell-Dubousset spinal dikerjakan oleh dokter ahli bedah yang berpengalaman dan asistennya

D. Larangan

  • Tidak boleh mengangkat barang-barang berat

Posisi salah                                                               posisi benar

E. Tindakan Yang Dapat Membantu Skoliosis

  • Mengangkat pinggul yang miring
  • Peregangan tulang belakang
  • Latihan pernapasan
  • Yoga

DAFTAR PUSTAKA

David J Dandy MA MD FRCS Essential Othopaedics and Trauma, Second Edition. 1993

Sabiston. Buku Ajar Bedah, 1994. Bagian 2, 392-396

Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15. 1996.  2360-2364, 689-692, EGC

Wim De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2; Editor R. Sjamsuhidayat, 832-834, EGC

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson . Patofisiologi, Edisi 6, EGC

Sylvia A Price, Lorraine M Wilson. Patofisiologi, Edisi 2 Bagian 2, 391-392, EGC

Gerald B Merenstein, David W Kaplan. Buku Pegangan Pediatri, Edisi 17, 685-687

Priguna Sidharta M D Phd. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, 211-213, Dian Rakyat

Kumpulan Dokter-Dokter. Segala Sesuatu Yang Perlu Anda Ketahui Disease Penyakit. Buku I, 224-228, Gramedia Grasindo

Kumpulan Dokter-Dokter. Medical Treatments / Terapi Medis, 303-305, Gramedia Grasindo

http://www.iscoliosis.com

http:/www.orthop.washington.edu/uw/scoliosis

http://www.scoliosis-assoc.org/

http://en.wikipedia.org/wiki/Scoliosis

http://www.rad.washington.edu/mskbook/scoliosis.html

http://www.medicastore.com

http://www.otkin.nl
http://www.balipost.co.id

Tinggalkan sebuah Komentar

PLANTAR FASCITIS

I.  PENDAHULUAN

Untuk melakukan aktivitas berjalan dan menyangga tubuh, kaki merupakan bagian penting tubuh, sehingga jika terjadi kelainan pada kaki maka aktivitas kita sehari-hari akan terhambat. Terhambatnya aktivitas ini sering dikarenakan karena rasa nyeri pada tumit yang datang secara tiba-tiba.

Gejala nyeri ini terutamanya sering disebabkan oleh “plantar fascitis” yaitu suatu peradangan pada plantar fascia (telapak kaki) atau dapat disebabkan karena saraf terjepit. Terjadinya trauma benda keras dapat juga menjadi penyebab penyakit ini.

Plantar fascia merupakan struktur mirip jaringan fibrous, yang terentang dari tulang tumit hingga tulang jari kaki, yang berfungsi sebagai penyangga bagian lengkung kaki agar bagian tersebut tidak lunglai.

Kelainan ini dapat mennyerang satu kaki, tetapi juga dapat menyerang dua kaki, nyeri ini dimulai pada tulang tumit. Pada keadaan kronis dapat mengakibatkan gangguan pada kaki, lutut, pinggul dan punggung.

II.        DEFINISI

“Plantar” adalah telapak kaki.

“Fascia” adalah jaringan pita yang sangat tebal (fibrosa) yang membentang dibawah kulit dan membentuk pembungkus bagi otot dan berbagai organ tubuh.

“itis” adalah peradangan.

Plantar Fascitis adalah penyakit yang mengenai sistem muskulus skeletal dan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain :

    • Umur
    • Berat badan
    • Aktivtas

    Sedangkan bentuk manifestasinya adalah tumbuhnya tulang pada daerah calcaneus.

    III.      EPIDEMIOLOGI

    Plantar Fascitis bisa terjadi pada semua usia terutama pada usia pertengahan dan usia lanjut. Pada usia-usia ini lebih beresiko untuk terjadinya Plantar Fascitis oleh karena fakto-fakto seperti pekerjaan atau aktivitas yang lebih banyak berdiri atau berjalan, obesitas, kehamilan, diabetes militus, aktivitas fisik yang berlebihan seperti pada atlit, penggunaan sepatu yang kurang tepat.

    Plantar Fascitis juga bisa tejadi pada pria maupun wanita, namun frekwensi yang besar terjadi adalah pada wanita umur 40-60 tahun. Hal ini disebabkan karena fakto-faktor seperti obesitas, hormon, dan kehamilan.

    IV.  PENYEBAB

    Pada waktu kita berjalan, semua berat badan kita bertumpu pada tumit yang kemudian tekanan ini akan disebarkan ke plantar fascia. Sehingga ligamen plantar fascia tertarikketika kaki melangkah. Apabila kaki berada dalam posisi baik maka tegangan yang ada tidak menyebabkan masalah, tetapi apabila kaki berada pada posisi yang salah atau adanya tekanan yang berlebih maka plantar fascia akan tertarik secara berlebihan, menjadi tegang dan terasa sakit ringan yang akhirnya inflamasi (plantar fascitis). Tegang yang berulang juga dapat menyebabkan nyeri ringan dan inflamasi dalam ligamen.

    Kondisi atau aktivitas yang dapat menyebabkan plantar fascitis:

    1.  Faktor biomekanik seperti pronasi atau memutar telapak kaki sehingga tidak normal, telapak kaki yang sangat melengkung, telapak kaki yang datar, otot calf erat, tendon achilles erat. Pada kaki yang pronasi secara berlebihan akan menarik plantar fascia. Telapak kaki yang sangat melengkung mempunyai plantar fascia yang pendek dibanding normal. Jika ada suatu tarikan atau tekanan yang berlebihan maka juga akan menyebabkan plantar fascitis.

    2.  Aktivitas atau tekanan pada kaki dapat menegangkan ligamen, seperti aktivitas yang menuntut untuk berjalan, berdiri atau melompat diatas permukaan yang keras dan dalam waktu yang cukup lama.

    3.  Obesitas atau kelebihan berat badan dapat membuat tumit menahan tekanan yang lebih besar dari berat badan ketika kita berjalan. Hal ini menyebabkan plantar fascitis karena tumit mudah rusak.

    4. Kehamilan dapat menambah berat badan dan merubah hormon yang dapat menyebabkan jaringan ikat untuk relaksasi menjadi lemas sehingga dapat memicu terjadinya plantar fascitis.

    5. Proses penuaan (usia lanjut) menyebabkan kelenturan plantar fascia semakin berkurang. Diabetes Melitus juga salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan plantar fascia dan sakit tumit pada orang tua.

    6.   Penggunaan sepatu yang sempit atau kurang tepat.

    7.   Trauma kecelakaan pada kaki kadang menyebabkan plantar fascitis.

    V. GAMBAR ANATOMI



    VI.  ANAMNESA

    Pasien datang dengan keluhan pada pagi hari sering merasakan nyeri dibagian tumit setelah melangkah beberapa kali. Tetapi pada siang hari keluhan ini dirasakan agak berkurang bahkan pada waktu malam hari keluhan ini tidak dirasakan lagi. Tetapi keluhan ini terkadang kembali dirasakan apabila terlalu banyak melakukan aktivitas berjalan atau berdiri.

    Pemanasan atau peregangan otot terlebih dahulu sangat penting dilakukan oleh para olahragawan atau pekerja berat, karena kurangnya pemanasan atau peregangan otot bisa memicu timbulnya keluhan ini.

    Bila pada pemeriksaan tidak ditemukan gejala-gejala seperti diatas, pasien harus dicek lebih cermat lagi. Nyeri ini biasanya bisa timbul didepan atau dibawah tumit. Tetapi bisa juga terdapat dibawah kaki dimana letak fascia tersebut berada.

    Rasa nyeri ini bisa berlangsung beberapa bulan atau bisa menjadi permanen. Terkadang gejala ini bisa timbul dan hilang setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian.

    Pemeriksaan palpasi


    Penderita biasanya dapat menunjukkan letak rasa nyeri tersebut dirasakan (seperti pada gambar diatas).

    Pasien dengan posisi tidur dan rileks dengan kaki terlentang kemudian tangan kiri kita menyanggah kaki penderita dan tangan kanan melakukan palpasi dengan ibu jari menekan pada plantar fascianya. Jika penderita mengalami sakit maka kemungkinan pasien ini menderita plantar fascitis.

    Pemeriksaan inspeksi

    Apabila plantar fascitis ini telah lanjut maka penderita cara berjalannya berubah karena telapak kaki terjadi nyeri yang hebat, sehingga beban tubuh hanya ditumpu pada ujung telapak kaki (jinjit).

    Pada umumnya pasien mulai berjalan jinjit karena nyeri tumit namun dengan berjalan (jinjit) atau dengan kaki bagian depan menyebabkan ketegangan pada plantar fascia yang lebih menarik tumit dan bisa membuat kondisi ini semakin memburuk (lihat pada gambar diatas).

    VI.  PEMERIKSAAN PENUNJANG

    A. Foto Rotgen

    Foto rotgen ini awalnya  untuk memastikan ada tidaknya  Calcaneous spur. Pada penderita plantar fascitis dengan calcaneous sering tebal pada bagian fascianya dua kali dari normal.

    B. Bone Scan

    Pada pemerikasaan ini dapat dilihat adanya peningkatan aliran darah pada perlekatan pada fascia dengan tumit.Terutama apabila penderita merasakan nyeri yang sangat hebat.

    Apabila hasilnya positif : Apabila hasilnya negative :

    – Stress fraktur                                                                        – Kerusakan saraf

    – Infeksi luka  bedah                                                             – Plantar fascitis

    Jadi pada penderita plantar fascitis tidak terjadi peningkatan aliran darah pada perlekatan fascia dengan tumit.

    C. MRI ( Magnetic Resonance Imaging )

    Pada pemeriksaan ini dapat dilihat adanya plantar fascitis dengan calcaneus spur.

    D. Diagnosa Banding

    • Calcaneous fracture ( stress atau traumanitis )
    • Tarsal turner syndrome
    • Ankylosing spandylitis
    • Plantar fascia rupture
    • Infeksi
    • Tumor
    • Dan kondisi lainnya yang dapat menyebabkan nyeri kulit.

    VII.  PENGOBATAN

    A.  Obat

    Apabila terapi kurang dapat memberikan hasil, untuk mengurangi rasa nyeri, maka diberikan:

    1. NSAID ( Non Steroid Anti Inflamation Drugs )

    Ex. Ibuprofen ( advil, motrin )

    Untuk menghambat reaksi peradangan dan nyeri dengan menurunkan sintesa prostaglandin digunakan sebagai anti inflamasi dan analgesik, diberikan per oral. Pengobatan ini cara yang paling baik dan aman.

    2. Suntikan 25 mg Cortison acetat (IV)

    Suntikan 25 mg cortison acetat (IV) di insersio paponeurosis plantaris pada os. calcaneus atau tepat pada samping tubulus medial os. calcaneus.

    Suntikan yang terlalu banyak dapat melemahkan serta merusak plantar fascia serta menyusutkan bantalan lemak di sekeliling tumit.

    3. Methylprednisolon topical

    Menurunkan peradangan dengan menekan migrasi dari sel PMN dan menurunkan permeabilitas kapiler.

    Obat ini dapat menyebabkan ruptur dan atropi dari lapisan lemak dari plantar fascia.

    4. NSAID lain

    Contohnya Aspirin. Menurunkan respon peradangan dan efek sistemik yang mengawali terjadinya peradangan selanjutnya.

    B.  FISIOTERAPI

    Terapi dalam hal ini sangat dianjurkan karena biasanya dengan terapi rasa nyeri serta peradangan perlahan-lahan berkurang.

    Terapi yang dapat dilakukan adalah :

    a.         Terapi Panas

    Dapat mengurangi kekakuan plantar fascia dan mengurangi nyeri tumit dengan

    sangat simple

    b.         Kompres Es

    Tujuan utamanya adalah untuk menyembuhkan robekan dan mengurangi peradangan sekaligus mencegah kambuh kembali. Kompres dengan es dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga bisa mempercepat penyembuhan dan memperbaiki aliran darah. Lakukan 20 menit 3 kali sehari setelah melakukan kegiatan.

    c.         Peregangan dan Pemanasan

    Bertujuan untuk merenggangkan tendon achilles dengan plantar fascia serta mengoreksi factor-faktor fungsional yang beresiko dengan kekencangan dari kompleks gastrosoleus dan kelemahan dari otot-otot intrinsik kaki.

    d.         Extracorporeal Shock Wave Therapy (ESWT)

    ESWT adalah gelombang suara yang dikirim kepada jaringan yang meradang untuk memisahkan jaringan dari radang sehingga merangsang jaringan ini untuk memperbaiki daerah yang luka dan mengurangi rasa sakit. Terapi ini tidak boleh untuk anak-anak dan wanita hamil.

    e.          Istirahat

    .

    Latihan

    1. Latihan Wall Stretches.

    Posisi tubuh menghadap dinding, berdiri sekitar dua tiga kaki dari tembok, lakukan dorongan dengan tangan anda pada tembok. Dengan kaki yang sakit di belakang dan kaki lainnya dibelakang. Dorong tembok, jadikan kaki yang depan sebagai tumpuan, sementara meregangkan kaki yang belakang, biarkan tumit kaki yang belakang menempel di lantai. Posisi ini akan meregangkan tumit. Tahan posisi ini selama 10 detik. Ulangi setidaknya 10 kali dan lakukan selama 3 kali sehari.

    2. Latihan Peregangan dengan Counter Top.

    Pasien menghadap depan dengan memegang counter top, letakkan kaki terpisah dengan satu kaki didepan kaki yang lain. Kemudian tekuk lutut sampai dalam posisi jongkok tahan. Posisi tumit tahan dilantai selama mungkin. Tumit dan busur kaki akan meregang dan tahan posisi ini selama 10 detik. Rileks kemudian luruskan kembali, ulangi sampai 20 kali.

    3. Latihan Towel Stretching dan Cross-friction Massage.

    Latihan ini dilakukan sebelum turun dari tempat tidur, jadi saat bangun tidur atau  setelah istirahat lama. Hal ini dilakukan karena saat kita tidur plantar fascia semakin mengencang.

    4. Latihan-latihan tambahan.

    Latihan-latihan ini dapat dilakukan saat pasien sedang beraktivitas dengan berdiri dalam jangka waktu lama (contohnya tempat kerja, dapur, dll).

    Catatan:

    Peregangan dengan latihan-latihan diatas ternyata berhasil untuk 83% penderita plantar fascia pada suatu studi.

    Alat Bantu

    Alat bantu untuk Plantar Fascitis dapat berupa :

    • Arch support dan orthotics

    Pasien dengan kaki yang datar secara teori memiliki kemampuan untuk mengabsorbsi tekanan dari kaki. Untuk memperbaiki hal ini dapat dibantu dengan Arch support dan orthotics yang berfungsi untuk mengurangi tekanan pada kaki dan mengontrol biomekanik dari kaki.

    • Night splints (Bidai malam)

    Night splints dirancang untuk menjaga mata kaki seseorang dalam posisi netral sepanjang malam. Kebanyakan individu biasanya tidur dengan telapak kaki dalam posisi flexi, sebuah posisi yang menyebabkan plantar fascia dalam posisi yang memendek. A Night dorsiflexion splint (bidai dorsoflixi malam) memungkinkan peregangan pasif dari betis dan plantar fascia selama tidur. Peregangan yang terjadi dapat memungkinkan untuk penyembuhan karena saat itu plantar fascia dalam posisi dipanjangkan, sehingga terjadi pengurangan tegangan saat melangkah pertama di pagi hari.

    • Silicon heel cushions

    Alat bantu berupa bantalan untuk tumit sepatu yang bentuknya mirip donat dengan lubang ditengahnya. Fungsinya untuk mengurangi tekanan pada tumit kaki.

    • ProStretch dan Foot Flex

    Alat ini berfungsi untuk mengurangi tekanan yang berlebihan pada plantar fascia dan tendon achilles ketika berjalan atau berlari.

    C.  OPERASI

    Pada penderita Plantar Fascitis tidak dapat di operasi karena dapat merusak perlekatan Muskulus Gastronemius dengan calcaneus .

    D.  LARANGAN

    1. Penggunaan sepatu yang kurang tepat misalnya sepatu dengan sol tipis yang kurang bisa mendukung bagian tengah telapak dan terlalu besar di bagian tumit atau sudah tua.
    2. Memakai sepatu bertumit tinggi (lebih dari 5cm) secara rutin dapat memperpendek otot achilles dan mengencangkan otot betis. Namun Saat ini kita menggantinya dengan sepatu tumit datar   justru akan menambah ketegangan pada tumit jadi sepatu yang paling tepat adalah sepatu bertumit rendah.
    3. Aktivitas yang berlebihan pada orang-orang yang sudah berusia lanjut.
    4. Pada ibu yang hamil atau sedang menggendong bayinya dengan berdiri lebih dari 20 jam sehari
    5. Melakukan pronation yang berlebihan, dimana pronation adalah fase berjalan dan      berlari. Pronation dan peregangan yang berlebihan membuat jaringan lunak meradang. Ini bisa membangun cairan  dan sel-sel berakumulasi disebuah area yang cedera. Ini  menciptakan lingkunagn yang buruk untuk penyembuhan.
    6. Terlalu banyak melakukan aktivitas atau olah raga yang terlalu besar memberikan beban pada tumit contohnya seperti  berjalan, jogging, berlari atau melompat.

    E.  SARAN YANG HARUS DIKERJAKAN

    1. Berolah raga yang mengurangi beban pada tumit contohnya berenang.
    2. Diet dan menurunkan berat badan pada penderita obesitas atau kegemukan.
    3. Melakukan latihan peregangan otot setiap hari akan meningkatkan fleksibelitas plantar fascia, otot achilles dan otot betis. Beberapa latihan peregangan diantaranya adalah :

    Membersihkan jari-jari kaki dengan handuk

    Meregangkan jari-jari kaki dengan bantuan jari tangan

    Meregangkan betis dan tumit pada lantai

    1. Setelah bangun tidur pagi hari hendaknya duduk dengan rileks dengan kaki ditaruh  di lantai
    2. Memakai sepatu bertumit rendah antara 2,5-5 cm. Kokoh dan mendukung bagian tengah dan telapak kaki, pilih kualitas sepatu yang baik dan berkualitas untuk berjalan dan berlari.
    3. Jangan memberikan beban terlalu berat terhadap kaki
    4. Pemberian kompres es pada kaki setelah melakukan aktivitas berat
    5. Melakukan pemanasan yang cukup sebelum melakukan olah raga atau aktivitas yang berat.

    .

    DAFTAR PUSTAKA

    Sidharta Priguna, M.D.,Ph.D.(1999).Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum.Dian Rakyat.Jakarta.

    S.Snell, Richard.(1998).Anatomi Klinik.EGC.Jakarta

    http://www.emedicine.com/

    http://www. ortoinfo.com/

    http://www. footcaredirect.com/

    http://www.heelspurs.com/

    http://www.newpodiatry.com/

    Comments (2)

    PARAPLEGLIA

    I. PENDAHULUAN


    Paraplegia merupakan paralysis permanen dari tubuh yang disebabkan oleh luka atau penyakit yang dipengaruhi oleh medulla spinalis.

    Pada luka medulla spinalis tulang belakang, biasanya rusak di suatu tempat di sepanjang tulang belakang tersebut akan sembuh, tetapi jaringan saraf pada medulla spinalis tidak dapat sembuh. Kerusakan saraf inilah yang menyebabkan kehilangan permanent pada fungsi dan berakibat pada kondisi yang disebut paraplegia.

    II. DEFINISI

    Paraplegia adalah kondisi dimana bagian bawah tubuh (extremitas bawah) mengalami kelumpuhan atau paralysis yang disebabkan karena lesi transversal pada medulla spinalis.

    III. EPIDEMIOLOGI

    Diperkirakan terjadi sekitar 10.000 kasus cedera medulla spinalis dalam setahun di Amerika Serikat, terutama pada pria muda yang belum menikah. Dari jumlah di atas, penyebab terbanyak karena kecelakaan mobil. Diikuti karena terjatuh, luka tembak dan cedera olah raga. Penyebab non traumatic yang paling sering menyebabkan paraplegi adalah tumor tulang belakang.

    IV. PENYEBAB

    Penyebab yang paling umum dari kerusakan medulla spinalis adalah :

    1. Trauma

    Seperti kecelakaan motor, jatuh, luka ketika berolahraga (khususnya menyelam ke perairan dangkal), luka tembakan dan juga bisa karena kecelakaan rumah tangga.

    2. Penyakit

    • Motorneuron disease :  keluhan berupa kelemahan otot, seperti pada otot yang cepat letih dan lelah, yaitu pada jari-jari tangan.
    • Polimiositosis bilateral :  keluhan berupa kelemahan / keletihan pada otot– otot disertai mialgia ataupun sama sekali bebas nyeri atau rasa pegal/ linu / ngilu. Polimiositosis juga dapat menyebabkan kelemahan keempat anggota gerak. 
    • Poliradikulopatia / polineuropatia bilateral :  keluhan berupa kelemahan otot – otot tungkai.
    • Miopatia bilateral :  keluhan berupa tidak dapat mengangkat badannya untuk berdiri dari sikap duduk taupun sikap sujud.
    • Distropia bilateral :  kelemahan otot sesuai dengan penyakit herediter umumnya, yaitu sejak kecil.
    • Sindroma Miastenia Gravis :  dimulai dengan adanya ptosis unilateral atau bilateral.

    V. GAMBAR ANATOMI

    Kolumna vertebralis atau rangkaian tulang belakang dikelompokkan menjadi :

    • 7 vertebra cervical atau ruas tulang bagian leher membentuk daerah tengkuk.
    • 12 vertebra thorakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang thoraks atau dada.
    • 5 vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.
    • 5 vertebra sacralis atau ruas tulang selangkang membentuk sacrum.
    • 4 vertebra koksigeus atau ruas tulang tungging membentuk tulang koksigeus.

    VI. DIAGNOSA

    1. ANAMNESA

    1. Bagaimana kekuatan otot pada extremitas bawah ?
    2. Bagaimana  “rasa – rasa” yang dialami pada extremitas bawah ? Apakah merasa seperti tebal atau kesemutan ?
    3. Bisa buang air kecil atau tidak ?
    4. Bisa buang air besar atau tidak ?
    5. Apakah pernah kecelakaan / jatuh yang mengenai tulang  belakang ?
    6. Tumor ? Infeksi ? Gangguan vaskuler ?

    2.PEMERIKSAAN

    a. Inspeksi

    Pasien dalam kondisi berbaring

    b. Palpasi

    • Sistem Motorik

    Penilaian kekuatan otot merupakan salah satu pemeriksaan yang harus dilakukan pada pemerikasaan paraplegi. Kekuatan otot dapat diperiksa baik pada waktu otot melakukan suatu gerakan (power, kinetik) atau pada waktu menahan atau menghambat atau melawan gerakan (statik). Kadang kelemahan otot baru diketahui bila penderita disuruh melakukan serentetan gerakan pada satu periode (endurance). Untuk melakukan pemeriksaan kekuatan otot harus diketahui fungsi masing – masing otot yang diperiksa.

    Pada paraplegia didapatkan kekuatan otot yang menurun pada kedua tungkai.

    Penilaian kekuatan otot :

    Nilai Kontraksi Persentase
    0 Tidak ada
    1 Ada, tanpa gerakan yang nyata 0 – 10 %
    2 Dapat menggeser / menggerakkan lengan tanpa beban dan tahanan 11 – 25 %
    3 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dan tanpa tahanan 26 – 50 %
    4 Dapat mengangkat lengan dengan tahanan ringan 51 – 75 %
    5 Dapat mengangkat lengan melawan gaya berat dengan beban tahanan berat 76 – 100 %
    • Sistem Sensorik

    Untuk menentukan level dari  paraplegia terutama digunakan sistem sensoris, bukan motoris.

    Defisit sensorik pada sindrom paraplegia karena trauma, gangguan spinovaskuler, proses autoimunologik atau proses maligna, satu atau beberapa segmen medulla spinalis rusak sama sekali. Lesi yang seolah memotong medulla spinalis dinamakan lesi transversal. Bilamana lesi transversal berada di bawah Intumesensia servikobrakialis, maka timbulah paralysis kedua tungkai (paraplegia) yang disertai hiperstesia pada permukaan badan dibawah tingkat lesi (hiperstesia paraplegia).

    Pada paraplegia spastika ada batas defisit sensorik sedangkan pada paraplegia flaksida tidak memperlihatkan batas defisit sensorik yang jelas.

    • Refleks

    Pada kelumpuhan lower motor neuron (LMN) tidak menunjukkan reflek patologis sedangkan pada kelumpuhan Upper Motor Neuron menunjukkan refleks patologis.

    a. Reflek Superficial

    1. Reflek Kulit Dinding Perut

    Kulit dinding perut digores dengan ujung gagang palu refleks atau ujung kunci. Refleks kulit dinding perut menghilang pada lesi piramidalis. Hilangnya refleks ini yang berkombinasi dengan meningkatnya refleks otot dinding perut adalah khas bagi lesi di susunan piramidal.

    2. Reflek Kremaster dan Reflek Skrotal

    Penggoresan dengan pensil, ujung gagang palu refleks atau ujung kunci terhadap kulit bagian medial akan dijawab dengan elevasi testis ipsilateral. Refleks kremaster menghilang pada lesi di segmen L I – II, juga pada usia lanjut.

    3. Reflek Gluteal

    Refleks ini terdiri dari gerakan reflektorik otot gluteus ipilateral bilamana digores atau ditusuk dengan jarum atau ujung gagang palu refleks. Refleks gluteal menghilang jika terdapat lesi di segmen L IV – S I.

    4. Reflek Anal Eksterna

    Refleks ini dibangkitkan dengan jalan penggoresan atau ketukan terhadap kulit atau mukosa daerah perianal.

    5. Reflek Plantar

    Penggoresan terhadap kulit telapak kaki akan menimbulkan ekstansi serta pengembangan jari – jari kaki dan elevasi ibu jari kaki.

    b. Reflek Patologik

    Reflek patologik yang sering diperiksa di dalam klinik ialah “Ekstensor Plantar Response” atau tanda Babinski.

    Metode-metode Perangsangan :

    1. Refleks Chaddock

    Penggoresan terhadap kulit dorsum pedis pada bagian lateralnya atau penggoresan terhadap kulit di sekitar malcolus eksterna.

    2. Refleks Oppenheim

    Pengurutan dari proksimal ke distal secara keras dengan jari telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. telunjuk dan ibu jari tangan terhadap kulit yang menutupi os. tibia atau pengurutan itu dilakukan dengan menggunakan sensi interfalangeal jari telunjuk dan jari tengah dari tangan yang mengepal.

    3. Refleks Gordon

    Cara membangkitkan Ekstensor Plantar Response ialah dengan menekan betis secara keras.

    4. Refleks Scaeffer

    Cara membangkitkan respon tersebut adalah dengan menekan tendon Achilles secara keras.

    5. Refleks Gonda

    Respon patologik tersebut diatas timbul pada penekukan (plantar fleksi) maksimal dari jari kaki keempat.

    6. Refleks Bing

    Dibangkitkan dengan memberikan rangsangan tusuk pada kulit yang menutupi metatarsal kelima.

    c. Perkusi

    1. Refleks otot dinding perut (bagian atas T8-9, tengah T9-10, bawah T11-12)

    Sikap                   :

    Pasien berbaring terlentang dengan kedua tangan lurus di samping badan.

    Stimulasi  :

    Ketukan pada jari yang ditempatkan pada bagian atas, tengah dan bawah dinding perut.

    Respons   :

    Otot perut yang mengganjal.

    2. Refleks tendon lutut (L 2-3-4, N. Femoralis)

    Sikap          :

    Pasien duduk dengan kedua kakinya digantung

    Pasien duduk dengan kedua kakinya ditapakkan di lantai

    Pasien berbaring terlentang dengan tungkainya difleksikan di     sendi lutut

      Stimulasi   :

      Ketukan pada tendon Patella

      Respons    :

      Tungkai bawah berekstensi

      3. Refleks Biseps Femoralis (L4-5,S1-2, N.Ischiadicus)

      Sikap        :

      Pasien berbaring terlentang dengan tungkai ditekuk ke lutut.

      Stimulus   :

      Ketukan pada jari di pemeriksa yang ditemoatkan pada tendon     M. Biseps femoralis

      Respons   :

      Kontraksi M.biceps femoralis

      4. Refleks Tendon Achilles (L5,S1-2, N.Tibialis)

      Sikap           :

      1. Tungkai ditekuk di sendi dan kaki didorsofleksikan
      2. Pasien Berlutut dengan kedua kaki bebas

      Stimulus   :

      Ketukan pada tendon Achilles

      Respons   :

      Plantarfleksi kaki

      3. PEMERIKSAAN PENUNJANG

      • RO                          :  Ditemukan fraktur vertebrae
      • Laboratorium   :

      a)      Darah  :  Tidak spesifik

      b)      Urine   :  Ada infeksi, sehingga leukosit dan eritrosit meningkat

      VII. PENGOBATAN

      a. Obat

      Jika terjadi contasio / transeksi / kompresi medulla spinalis, maka dapat kita terapi dengan :

      • Metyl Prednisolon 30 mg/kg BB bolus intravena selama 15 menit, dilanjutkan dengan 5,4 mg/kg BB 45 menit setelah bolus selama 23 jam. Hasil optimal bila pemberian dilakukan < 8 jam onset.
      • Tambahkan profilaksis strees ulkus  :  Antacid / antagonis H2.

      Sedangkan apabila terdapat comotio medulla spinalis fraktur atau dislokasi tidak stabil harus disingkirkan. Jika pemulihan sempurna, pengobatan tidak diperlukan.

      Antibiotik pada umumnya untuk menyembuhkan infeksi saluran kemih. Beberapa orang menggunakan jus buah cranberry dan pengobatan dari tumbuhan lainnya untuk pencegahan.

      b. Fisioterapi

      Terdiri dari :

      • Alat bantu

      Pada penyakit paraplegia, kita dapat menggunakan alat bantu terapi yang dinamakan “Giger MD”. Dimana merupakan suatu terapi dinamis koordinasi yang efisien untuk melatih pasien dengan lesi CNS.

      • Pemanasan

      Dengan air hangat atau sinar.

      • Latihan

      Disebut dengan Range Of Motion (ROM) untuk mengetahui luas gerak sendi.

      c. Operasi

      Dengan menggunakan teknik Harrison roda stabilization (Instrumen Harrison) yaitu mengguakan batang distraksi baja tahan karat untuk mengoreksi dan stabilisasi deformitas vertebra.

      Prinsip dasar teknik Harrison dalam perawatan trauma deformitas spinal adalah adanya kemauan dan dukungan dari pasien mengikuti rehabilitasi sejak dini dan untuk mencegah deformitas yang lebih parah.

      Tindakan operasi diindikasikan pada kasus :

      • Reduksi terbuka pada dislokasi
      • Cedera terbuka dengan benda asing atau tulang dalam canalis spinalis
      • Lesi parsial medulla spinalis dengan hemamielia yang progresif

      Dapat juga kita lakukan tindakan segera pada cedera medulla spinalis, tujuannya adalah mencegah kerusakan lebih lanjut pada medulla spinalis yang diperburuk dengan penanganan yang kurang tepat, efek hipotensi atau hypoxia pada jaringan saraf yang sudah terganggu, yaitu :

      • Letakkan pasien pada alas yang keras dan datar untuk pemindahan
      • Beri bantal, guling atau bantal pasir pada sisi pasien untuk mencegah pergeseran
      • Tutupi dengan selimut untuk menghindari kehilangan hawa panas badan
      • Bawa pasien ke Rumah Sakit yang memiliki fasilitas penanganan kasus cedera medulla spinalis

      d. Saran

      • Perawatan vesica urinaria dan fungsi defekasi

      • Perawatan kulit untuk menghindari terjadinya ulcus dekubitus

      • Nutrisi yang adekuat
      • Control nyeri  :  analgetik, obat anti inflamasi non steroid, anti konvulsi, codein, dll.

      e. Psikoterapi sangat penting, terutama pada pasien yang mengalami sekuel neurologist berat dan permanen.

      .

      DAFTAR PUSTAKA


      Mardjono, Mahar DR.Prof., Sidharta, Priguna DR.Prof. 2003. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat. Hal : 20 – 27, 35, 85.

      Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. Neurologis Klinis dalam Praktek Umum. Hal 7

      Sidharta, Priguna M.D. Ph.D. 1999. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Hal : 115 – 131, 434 – 443.

      Comments (5)

      Low Back Pain (LBP)


      PENDAHULUAN


      Hampir semua orang pernah mengalami nyeri pinggang, hal ini menunjukan seringnya gejala ini dijumpai pada sebagian besar  penderita. Sakit pinggang merupakan keluhan banyak penderita yang berkunjung ke dokter. Yang dimaksud dengan istilah sakit pinggang bawah ialah nyeri, pegal linu, ngilu, atau tidak enak didaerah lumbal berikut sacrum. Dalam bahasa inggris disebut dengan istilah Low Back Pain (LBP).

      Penyebab LBP bermacam-macam dan multifaktorial; banyak yang ringan, namun ada juga yang berat yang harus ditanggulangi dengan cepat dan tepat. Mengingat tingginya angka kejadian LBP, maka tidaklah bijaksana untuk melakukan pemeriksaan laboratorium yang mendalam secara rutin pada tiap penderita. Hal ini akan memakan waktu yang lama, dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama dan dibantu oleh pemeriksaan laboratorium yang terarah, maka penyebab LBP dapat ditegakan pada sebagian terbesar penderita

      Untuk lebih mendalami tentang low back pain, sejenak perlu diketahui dahulu fungsi dari tulang belakang. Tulang belakang merupakan daerah penyokong terbanyak dalam fungsi tubuh. Tulang belakang terdiri atas 33 ruas yang merupakan satu kesatuan fungsi dan bekerja bersama-sama melakukan tugas-tugas seperti:

      1. memperhatikan posisi tegak tubuh

      2. menyangga berat badan

      3. fungsi pergerakan tubuh

      4. pelindung jaringan tubuh

      Pada saat berdiri, tulang belakang memiliki fungsi sebagai penyangga berat badan, sedangkan pada saat jongkok atau memutar, tulang belakang memiliki fungsi sebagai penyokong pergerakan tersebut. Struktur dan peranan yang kompleks dari tulang belakang inilah yang seringkali menyebabkan masalah.

      Pada makalah ini pengertian nyeri pinggang bawah digunakan untuk menjelaskan gejala nyeri yang terlokalisir didaerah lumbal atau nyeri yang menjalar ke tungkai atau kaki dengan menyingkirkan penyebab nyeri lain yang spesifik.

      DEFINISI


      Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan rasa nyeri, ngilu, pegal yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah. Nyeri pinggang bawah bukanlah diagnosis tapi hanya gejala akibat dari penyebab yang sangat beragam.

      Low Back Pain menurut perjalanan kliniknya dibedakan menjadi dua yaitu :

      A. Acute low back pain

      Rasa nyeri yang menyerang secara tiba-tiba, rentang waktunya hanya sebentar, antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Rasa nyeri ini dapat hilang atau sembuh. Acute low back pain dapat disebabkan karena luka traumatic seperti kecelakaan mobil atau terjatuh, rasa nyeri dapat hilang sesaat kemudian. Kejadian tersebut selain dapat merusak jaringan, juga dapat melukai otot, ligamen dan tendon. Pada kecelakaan yang lebih serius, fraktur tulang pada daerah lumbal dan spinal dapat masih sembuh sendiri. Sampai saat ini penatalaksanan awal nyeri pinggang acute terfokus pada istirahat dan pemakaian analgesik.

      B. Chronic low back pain

      Rasa nyeri yang menyerang lebih dari 3 bulan atau rasa nyeri yang berulang-ulang atau kambuh kembali. Fase ini biasanya memiliki onset yang berbahaya dan sembuh pada waktu yang lama. Chronic low back pain dapat terjadi karena osteoarthritis, rheumatoidarthritis, proses degenerasi discus intervertebralis dan tumor.

      Disamping hal tersebut diatas terdapat juga klasifikasi patologi yang klasik yang juga dapat dikaitkan LBP. Klasifikasi tersebut adalah :

      1. Trauma
      2. Infeksi
      3. Neoplasma
      4. Degenerasi
      5. Kongenital

      EPIDEMIOLOGI


      Nyeri pinggang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting pada semua negara. Besarnya masalah yang diakibatkan oleh nyeri pinggang dapat dilihat dari ilustrasi data berikut. Pada usia kurang dari 45 tahun, nyeri pinggang menjadi penyebab kemangkiran yang paling sering, penyebab tersering kedua kunjungan kedokter, urutan kelima masuk rumah sakit dan masuk 3 besar tindakan pembedahan. Pada usia antara 19-45 tahun, yaitu periode usia yang paling produktif, nyeri pinggang menjadi penyebab disabilitas yang paling tinggi.

      Di Indonesia, LBP dijumpai pada golongan usia 40 tahun. Secara keseluruhan, LBP merupakan keluhan yang paling banyak dijumpai (49 %). Pada negara maju prevalensi orang terkena LBP adalah sekitar 70-80 %. Pada buruh di Amerika, kelelahan LBP meningkat sebanyak 68 % antara thn 1971-1981.

      Sekitar 80-90% pasien LBP menyatakan bahwa mereka tidak melakukan usaha apapun untuk mengobati penyakitnya jadi dapat disimpulkan bahwa LBP meskipun mempunyai prevalensi yang tinggi namun penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya.

      ANATOMI


      Struktur utama dari tulang punggung adalah vertebrae, discus invertebralis, ligamen antara spina, spinal cord, saraf, otot punggung, organ-organ dalam disekitar pelvis,  abdomen dan kulit yang menutupi daerah punggung.

      Columna vertebralis (tulang punggung) terdiri atas :

      1. Vertebrae cervicales                7 buah

      2. Vertebrae thoracalis                 12 buah

      3. Vertebrae lumbales                  5 buah

      4. Vertebrae sacrales                   5 buah

      5. Vertebrae coccygeus               4-5 buah

      Vertebra cervicales, thoracalis dan lumbalis termasuk golongan true vertebrae.

      Pada vertebrae juga terdapat otot-otot yang terdiri atas :

      1. Musculus trapezius

      2. Muskulus latissimus dorsi

      3. Muskulus rhomboideus mayor

      4. Muskulus rhomboideus minor

      5. Muskulus levator scapulae

      6. Muskulus serratus posterior superior

      7. Muskulus serratus posterior inferior

      8. Muskulus sacrospinalis

      9. Muskulus erector spinae

      10. Muskulus transversospinalis

      11. Muskulus interspinalis

      Otot-otot tersebut yang menghubungkan bagian punggung ke arah ekstrremitas maupun yang terdapat pada bagian punggung itu sendiri.Otot pada punggung memiliki fungsi sebagai pelindung dari columna spinalis, pelvis dan ekstremitas. Otot punggung yang mengalami luka mungkin dapat menyebabkan terjadinya low back pain.

      1

      2

      3

      4


      PENYEBAB


      Penyebab nyeri pinggang bawah bermacam-macam dan multifaktor. Di antaranya dapat disebut :

      1)      KELAINAN KONGENITAL

      Kelainan kongenital tidak merupakan penyebab nyeri pinggang bawah yang penting. Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah adalah :

      a)      Spondilolisis dan spondilolistesis

      Pada Spondilolisis tampak bahwa sewaktu pembentukan korpus vertebrae itu     ( in utero ) arkus vertebrae tidak bertemu dengan korpus vertebraenya sendiri.

      Pada spondilolistesis korpus vertebrae itu sendiri ( biasanya L5 ) tergeser ke depan.

      Walaupun kejadian ini terjadi sewaktu bayi itu masih berada dalam kandungan, namun ( oleh karena timbulnya kelinan-kelainan degeneratif ) sesudah berumur 35 tahun, barulah timbul keluhan nyeri pinggang. Nyeri pinggang ini berkurang / hilang bila penderita duduk atau tidur. Dan akan bertambah, bila penderita itu berdiri atau berjalan.

      Spondilolitesis dapat mengakibatkan tertekuknya radiks L5 sehingga timbul nyeri radikuler.

      b)      Spina Bifida

      Bila di daerah lumbosakral terdapat suatu tumor kecil yang ditutupi oleh kulit yang berbulu, maka hendaknya kita waspada bahwa didaerah itu ada tersembunyi suatu spina bifida okulta.

      Pada foto rontgen tampak bahwa terdapat suatu hiaat pada arkus spinosus di daerah lumbal atau sakral. Karena adanya defek tersebut maka pada tempat itu tidak terbentuk suatu ligamentum interspinosum.

      Keadaan ini akan menimbulkan suatu “lumbo-sakral sarain” yang oleh si penderita dirasakan sebagai nyeri pinggang.

      c)      Stenosis kanalis vertebralis

      Diagnosis penyakit ini ditegakkan secara radiologis. Walaupun penyakit telah ada sejak lahir, namun gejala-gejalanya baru tampak setelah penderita berumur 35 tahun.

      Gejala yang tampak adalah timbulnya nyeri radikuler bila si penderita jalan dengan sikap tegak. Nyeri hilang begitu penderita berhenti jalan atau bila ia duduk. Untuk menghilangkan rasa nyerinya maka penderita lantas jalan sambil membungkuk.

      d)      Spondylosis lumbal

      Penyakit sendi degeneratif yang mengenai vertebra lumbal dan discus intervertebralis, yang menyebabkan nyeri dan kekakuan.

      e)      Spondylitis.

      Suatu bentuk degeneratif sendi yang mengenai tulang belakang . ini merupakan penyakit sistemik yang etiologinya tidak diketahui, terutama mengenai orang muda dan menyebabkan rasa nyeri dan kekakuan sebagai akibat peradangan sendi-sendi dengan osifikasi dan ankilosing sendi tulang belakang.

      2)      TRAUMA DAN GANGGUAN MEKANIS

      Trauma dan gngguan mekanis merupakan penyebab utam nyeri pinggang bawah. Pada orang-orang yang tidak biasa melakukan pekerjaan otot atau sudah lama tidak melakukan kegiatan ini dapat menderita nyeri pinggang bawah yang akut. Cara bekerja di pabrik atau di kantor dengan sikap yang salah lama-lama nenyebabkan nyeri pinggang bawah yang kronis.

      Patah tulang, pada orang yang umurnya sudah agak lanjut sering oleh karena trauma kecil saja dapat menimbulkan fraktur kompresi pada korpus vertebra. Hal ini banyak ditemukan pada kaum wanita terutam yang sudah sering melahirkan. Dalam hal ini tidak jarang osteoporosis menjadi sebab dasar daripada fraktur kompresi. Fraktur pada salah satu prosesus transversus terutama ditemukan pada orang-orang lebih muda yang melakukan kegiatan olahraga yang terlalu dipaksakan.

      Pada penderita dengan obesitas mungkin perut yang besar dapat menggangu keseimbangan statik dan kinetik dari tulang belakang sehingga timbul nyeri pinggang.

      Ketegangan mental terutama ketegangan dalam bidang seksual atau frustasi seksual dapat ditransfer kepada daerah lumbal sehingga timbul kontraksi otot-otot paraspinal secara terus menerus sehingga timbul rasa nyeri pinggang. Analog dengan tension headache maka nyeri pinggang semacam ini dapat dinamakan “tension backache”.

      Tidak jarang seorang pemuda mengeluh tentang nyeri pinggang, yang timbul karena adanya anggapan yang salah yaitu bahwa karena seringnya melakukan onani di waktu yang lampau lantas kini sumsum balakangnya telah menjadi kering dan nyeri.

      3. RADANG ( INFLAMASI )

      Artritis rematoid dapat melibatkan persendian sinovial pada vertebra. Artritis rematoid merupakan suatu proses yang melibatkan jaringan ikat mesenkimal.

      Penyakit Marie-Strumpell

      Penyakit Marie-Strumpell, yang juga dikenal dengan nama spondilitis ankilosa atau bamboo spine terutama mengenai pria dan teruta mengenai kolum vertebra dan persendian sarkoiliaka. Gejala yang sering ditemukan ialah nyeri lokal dan menyebar di daerah pnggang disertai kekakuan

      ( stiffness ) dan kelainan ini bersifat progresif.

      4. TUMOR ( NEOPLASMA )

      Tumor vertebra dan medula spinalis dapat jinak atau ganas. Tumor jinak dapat mengenai tulang atau jaringan lunak. Contoh gejala yang sering dijumpai pada tumor vertebra ialah adanya nyeri yang menetap. Sifat nyeri lebih hebat dari pada tumor ganas daripada tumor jinak. Contoh tumor tulang jinak ialah osteoma osteoid, yang menyebabkan nyeri pinggang terutama waktu malam hari. Tumor ini biasanya sebesar biji kacang, dapat dijumpai di pedikel atau lamina vertebra. Hemangioma adalah contoh tumor benigna di kanalis spinal yang dapat menyebabkan nyeri pinggang bawah. Meningioma adalah tumor intradural dan ekstramedular yang jinak, namun bila ia tumbuh membesar dapat mengakibatkan gejala yang besar seperti kelumpuhan

      5. GANGGUAN METABOLIK

      Osteoporosis akibat gangguan metabolik yang merupakan penyebab banyak keluhan nyeri   pada pinggang dapat disebabkan oleh kekurangan protein atau oleh gangguan hormonal (menopause,penyakit cushing). Sering oleh karena trauma ringan timbul fraktur kompresi    atau seluruh panjang kolum vertebra berkurang karena kolaps korpus vertebra.penderita         menjadi bongkok dan pendek denga nyeri difus di daerah pinggang.

      6.   PSIKIS

      Banyak gangguan psikis yang dapat memberikan gejala nyeri pinggang bawah.misalnya anksietas dapat menyebabkan tegang otot yang mengakibatkan rasa nyeri,misalnya dikuduk atau di pinggang;rasa nyeri ini dapat pula kemudian menambah meningkatnya keadaan anksietas dan diikuti oleh meningkatnya tegang otot dan rasa nyeri.kelainan histeria,kadang-kadang juga mempunyai gejala nyeri pinggang bawah.

      FAKTOR RESIKO

      Faktor resiko nyeri pinggang meliputi usia, jenis kelamin, berat badan, etnis, merokok sigaret, pekerjaan, paparan getaran, angkat beban yang berat yang berulang-ulang, membungkuk, duduk lama, geometri kanal lumbal spinal dan faktor psikososial. Pada laki-laki resiko nyeri pinggang meningkat sampai usia 50 tahun kemudian menurun, tetapi pada wanita tetap terus meningkat. Peningkatan insiden pada wanita lebih 50 tahun kemungkinan berkaitan dengan osteoporosis.

      LOKASI

      Lokasi untuk nyeri pinggang bawah adalah daerah lumbal bawah, biasanya disertai penjalaran ke daerah-daerah lain, antara lain sakroiliaka, koksigeus, bokong, kebawah lateral atau posterior paha, tungkai, dan kaki.

      DIAGNOSA


      1. ANAMNESA

      Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan dalam menganamnesa pasien dengan kemungkinan diagnosa Low Back Pain.

      1. Apakah terasa nyeri ?

      2. Dimana terasa nyeri ?

      3. Sudah berapa lama merasakan nyeri ?

      4. Bagaimana kuantitas nyerinya? (berat atau ringan)

      5. Apa yang membuat nyeri terasa lebih berat atau terasa lebih ringan?

      6. Adakah keluhan lain?

      7. apakah dulu anda ada menderita penyakit tertentu?

      8. bagaimana keadaan kehidupan pribadi anda?

      9. bagaimana keadaan kehidupan sosial anda?

      2. PEMERIKSAAN

      Pemeriksaan fisik secara komprehensif pada pasien dengan nyeri pinggang meliputi evaluasi sistem neurologi dan muskuloskeltal. Pemeriksaan neurologi meliputi evaluasi sensasi tubuh bawah, kekuatan dan refleks-refleks

      1. Motorik.

      Pemeriksaan yang dilakukan meliputi :

      a. Berjalan dengan menggunakan tumit.

      b. Berjalan dengan menggunakan jari atau berjinjit.

      c. Jongkok dan gerakan bertahan ( seperti mendorong tembok )

      2. Sensorik.

      a. Nyeri dalam otot.

      b. Rasa gerak.

      3.Refleks.

      Refleks yang harus di periksa adalah refleks di daerah Achilles dan Patella, respon dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengetahui  lokasi terjadinya lesi pada saraf spinal.

      4. Test-Test

      a. Test Lassegue

      Pada tes ini, pertama telapak kaki pasien ( dalam posisi 0° )  didorong ke arah     muka kemudian setelah itu tungkai pasien diangkat sejauh 40° dan sejauh 90°.

      5

      b. Test Patrick

      Tes ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan di pinggang dan pada sendi sakro iliaka. Tindakan yang dilakukan adalah fleksi, abduksi, eksorotasi dan ekstensi.

      6

      c. Test Kebalikan Patrick

      Dilakukan gerakan gabungan dinamakan fleksi, abduksi, endorotasi, dan ekstensi           meregangkan sendi sakroiliaka. Test Kebalikan Patrick positif menunjukkan kepada            sumber nyeri di sakroiliaka.

      PENUNJANG

      FOTO

      1.Plain

      X-ray adalah gambaran radiologi yang mengevaluasi tulang,sendi, dan luka degeneratif pada spinal.Gambaran X-ray sekarang sudah jarang dilakukan, sebab sudah banyak peralatan lain yang dapat meminimalisir waktu penyinaran sehingga efek radiasi dapat dikurangi.X-ray merupakan tes yang sederhana, dan sangat membantu untuk menunjukan keabnormalan pada tulang. Seringkali X-ray merupakan penunjang diagnosis pertama untuk mengevaluasi nyeri punggung, dan biasanya dilakukan sebelum melakukan tes penunjang lain seperti MRI atau CT scan. Foto X-ray dilakukan pada posisi anteroposterior (AP ), lateral, dan bila perlu oblique kanan dan kiri.

      7

      2. Myelografi

      Myelografi adalah pemeriksan X-ray pada spinal cord dan canalis spinal. Myelografi merupakan tindakan infasif, yaitu cairan yang berwarna medium disuntikan ke kanalis spinalis, sehingga struktur bagian dalamnya dapat terlihat pada layar fluoroskopi dan gambar X-ray. Myelogram digunakan untuk diagnosa pada penyakit yang berhubungan dengan diskus intervertebralis, tumor spinalis, atau untuk abses spinal.

      8

      3. Computed Tornografi Scan ( CT- scan ) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI )

      CT-scan merupakan tes yang tidak berbahaya dan dapat digunakan untuk pemeriksaan pada otak, bahu, abdomen, pelvis, spinal, dan ekstemitas. Gambar CT-scan seperti gambaran X-ray 3 dimensi.

      MRI dapat menunjukkan gambaran tulang belakang yang lebih jelas daripada CT-scan. Selain itu MRI menjadi pilihan karena tidak mempunyai efek radiasi. MRI dapat menunjukkan gambaran tulang secara sebagian sesuai dengan yang dikehendaki. MRI dapat memperlihatkan diskus intervertebralis, nerves, dan jaringan lainnya pada punggung.

      9

      4. Electro Miography ( EMG ) / Nreve Conduction Study ( NCS )

      EMG / NCS merupakan tes yang aman dan non invasif yang digunakan untuk pemeriksaansaraf pada lengan dan kaki.

      EMG / NCS dapat memberikan informasi tentang :

      1. Adanya kerusakan pada saraf

      2. Lama terjadinya kerusakan saraf ( akut atau kronik )

      3. Lokasi terjadinya kerusakan saraf ( bagian proksimalis atau distal )

      4. Tingkat keparahan dari kerusakan saraf

      5. Memantau proses penyembyhan dari kerusakan saraf

      Hasil dari EMG dan MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi kondisi fisik pasien dimana mungkin perlu dilakukan tindakan selanjutnya yaitu pambedahan.

      PENGOBATAN


      Obat

      1.   Obat-obat analgesik

      Obat-obat analgesik umumya dibagi menjadi dua golongan besar :

      –         Analgetik narkotik

      Obat-obat golongan ini terutama bekerja pada susunan saraf digunakan untuk menghilangkan rasa sakit yang berasal dari organ viseral. Obat golongan ini hampir tidak digunakan untuk pengobatan LBP karena bahaya terjadinya adiksi pada penggunaan jangka panjang. Contohnya : Morfin, heroin, dll.

      –         Analgetik antipiretik

      Sangat bermanfat untuk menghilangkan rasa nyeri mempunyai khasiat anti piretik, dan beberapa diantaranya juga berkhasiat antiinflamasi. Kelompok obat-obat ini dibagi menjadi 4 golongan :

      a) Golongan salisilat

      Merupakan analgesik yang paling tua, selain khasiat analgesik juga mempunyai khasiat antipiretik, antiinflamasi, dan antitrombotik. Contohnya : Aspirin

      Dosis Aspirin :       Sebagai anlgesik 600 – 900 mg, diberikan 4 x sehari

      Sebagai antiinflamasi 750 – 1500 mg, diberikan 4 x sehari

      Kontraindikasi :     Penderita tukak lambung

      Resiko terjadinya pendarahan

      Gangguan faal ginjal

      Hipersensitifitas

      Efek samping :       Gangguan saluran cerna

      Anemia defisiensi besi

      Serangan asma bronkial

      b) Golongan Paraaminofenol

      Paracetamol dianggap sebagai analgesik-antipiretik yang paling aman untuk       menghilangkan rasa nyeri tanpa disertai inflamasi.

      Dosis terapi :         600 – 900 mg, diberikan 4 x sehari

      c) Golongan pirazolon

      Dipiron mempunyai aceptabilitas yang sangat baik oleh penderita, lebih kuat dari pada paracetamol, dan efek sampingnya sangat jarang.

      Dosis terapi :         0,5 – 1 gram, diberikan 3 x sehari

      d) Golongan asam organik yang lain

      Derivat asam fenamat

      Yang termasuk golongan ini misalnya asam mefenamt, asam flufenamat, dan Na-    meclofenamat.Golongan obat ini sering menimbulkan efek samping terutama diare.Dosis asam mefenamat sehari yaitu 4×500 mg,sedangkan dosis Na-meclofenamat sehari adalah 3-4 kali 100 mg.

      Derivat asam propionat

      Golongan obat ini merupakan obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang relatif   baru, yang juga mempunyai khasiat anal getik dam anti piretik. Contoh obat golongan ini misalnya ibuprofen, naproksen, ketoprofen, indoprofen dll.

      Derifat asam asetat

      Sebagai contoh golonagn obat ini ialah Na Diklofenak. Selain mempunyai efek anti inflamasi yang kuat, juga mempunyai efek analgesik dan antipiretik. Dosis terapinya 100-150 mg 1 kali sehari.

      Derifat Oksikam

      Salah satu contohnya adalah Piroxicam, dosis terapi 20 mg 1 kali sehari.

      Fisioterapi

      a. Terapi Panas

      Terapi menggunakan kantong dingin – kantong panas. Dengan menaruh sebuah kantong dingin di tempat daerah punggung yang terasa nyeri atau sakit selama 5-10 menit. Jika selama 2 hari atau 48 jam rasa nyeri masih terasa gunakan heating pad (kantong hangat).

      b. Elektro Stimulus

      –  Acupunture

      Menggunakan jarum untuk memproduksi rangsangan yang ringan tetapi cara ini  tidak terlalu efisien karena ditakutkan resiko komplikasi akibat ketidaksterilan jarum yang digunakan sehingga menyebabkan infeksi.

      –  Ultra Sound

      Untuk menghangatkan

      10

      –    Radiofrequency Lesioning

      Dengan menggunakan impuls listrik untuk merangsang saraf

      –    Spinal Endoscopy

      Dengan memasukkan endoskopi pada kanalis spinalis untuk memindahkan atau menghilangkan jaringan scar.

      –    Percutaneous Electrical Nerve Stimulation (PENS)

      –    Elektro Thermal Disc Decompression

      –    Trans Cutaneous Electrical Nerve Stimulation ( TENS )

      Menggunakan alat dengan tegangan kecil.

      c. Traction

      Helaan atau tarikan pada badan ( punggung ) untuk kontraksi otot.

      11

      d. Pemijatan atau massage

      Dengan   terapi  ini   bisa  menghangatkan,   merileksi  otot  belakang   dan   melancarkan

      perdarahan.

      Latihan Low Back Pain dapat dilakukan sebagai berikut :

      a. Lying supine hamstring stretch

      12


      b. Knee to chest stretch

      13

      14


      c. Pelvic Tilt

      15

      16


      d. Sitting leg stretch

      17

      18


      e. Hip and quadriceps stretch

      19


      e. Alat Bantu

      1. Back corsets.

      Penggunaan penahan pada punggung sangat membantu untuk mengatasi Low Back Pain  yang dapat membungkus punggung dan perut.

      20

      2. Tongkat Jalan


      Operasi

      Tipe operasi yang dilakukan oleh dokter bedah tergantung pada tulang belakang/punggung pasien. Biasanya prosedurnya menyangkut pada LAMINECTOMY yang mana menghendaki bagian yang dinagkat dari vertebral arch untuk memperoleh kepastian apa penyebab dari LBP pasien. Jika disc menonjol atau bermasalah, para ahli bedah akan melakukan bagian laminectomy untuk mencari tahu vertebral kanal, mengidentisir ruptered disc ( disc yang buruk ), dan mengambil atau memindahkan bagian yang baik dari disc yang bergenerasi, khususnya kepingan atau potongan yang menindih saraf.

      Ahli bedah mungkin mempertimbangkan prosedur kedua yaitu SPINAL FUSION, jika si pasien merasa membutuhkan keseimbangan di bagian spinenya. Spinal fusion merupakan operasi dengan menggabungkan vertebral dengan bone grafts. Kadang graft tersebut dikombinasikan dengan metal plate atau dengan alat yang lain.

      Ada juga sebagian herniated disc ( disc yang menonjol ) yang dapat diobati dengan teknik PERCUTANEOUS DISCECTOMY, yang mana discnya diperbaiki menembus atau melewati kulit tanpa membedah dengan menggunakan X-ray sebagai pemandu. Ada juga cara lain yaitu CHEMONEUCLOLYSIS, cara ini menggunakan penyuntikan enzim-enzim ke dalam disc. Cara ini sudah jarang digunakan.

      Larangan

      a. Berdiri terlalu lama tanpa diselingi gerakan seperti jongkok.

      b. Membawa beban yang berat.

      c. Duduk terlalu lama.

      d. Memakai sepatu hak tinggi.

      e. Menulis sambil membungkuk terlalu lama.

      f. Tidur tanpa menggunakan alas di permukaan yang keras atau menggunakan                   kasur yang terlalu empuk.

      Anjuran

      a. Posisikan kepala dititik tertinggi, bahu ditaruh sedikit kebelakang.

      b. Duduk tegak 90 derajat.

      c. Gunakanlah sepatu yang nyaman.

      d. Jika ingin duduk dengan jangka wqktu yang lama, istirahatkan kaki di lantai                    atau apa saja yang mnurut anda nyaman.

      e. Jika mempunyai masalah dengan tidur, taruhlah bantal di bawah lutut atau jika                            tidur menyamping, letakkanlah bantal diantara kedua lutut.

      f. Hindari berat badan yang berlebihan.

      g. Ketika memerlukan berdiri dalam waktu lama salah satu kaki diletakkan diatas   supaya sudut ferguson tidak terlalu besar ( sudut ferguson adalah sudut kemiringan sakrum dengan garis horisontal )

      .

      DAFTAR PUSTAKA

      Lumbantobing SM, Tjokronegoro A, Junada A. Nyeri Pinggang Bawah. Jakarta.  Fakultas . Kedokteran Universitas Indonesia. 1983

      Nursamsu, Handono Kalim. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri Pinggang. Malang. Lab./SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Brawijaya. 2004
      Dorland, W.A. Newman. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta. EGC. 2002

      www.eorthopod.com

      www.backpainforum.com

      www.hughston.com

      www.healthcare.uiowa.edu

      http://www.emedicine.com

      Comments (7)

      Hernia Nukleus Pulposus (H. N. P )

      I.             PENDAHULUAN


      Hernia Nukleus Pulposus merupakan salah satu dari sekian banyak “Low Back Pain” akibat proses degeneratif. Penyakit ini banyak ditemukan di masyarakat, dan biasanya dikenal sebagai ‘loro boyok’. Biasanya mereka mengobatinya dengan pijat urat dan obat-obatan gosok, karena anggapan yang salah bahwa penyakit ini hanya sakit otot biasa atau karena capek bekerja. Penderita penyakit ini sering mengeluh sakit pinggang yang menjalar ke tungkai bawah terutama pada saat aktivitas membungkuk(sholat,mencangkul).

      Penderita mayoritas melakukan suatu aktivitas mengangkat beban yang berat dan sering membungkuk.Aktivita ini banyak dilakukan oleh para pekerja bangunan, pembantu rumah tangga, olahragawan angkat besi, kuli pelabuhan, dll.

      II.          DEFINISI


      HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya nucleus pulposus dari discus melalui robekan annulus fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menakan saraf spinalis sehingga menimbulkan gangguan.

      hnp1

      III.    EPIDEMIOLOGI


      1.   HNP paling sering terjadi pada pria dewasa, dengan insiden puncak pada

      decade ke-4 dan ke-5.

      2.   Kelainan ini lebih banyak terjadi pada individu dengan pekerjaan yang

      banyak membungkuk dan mengangkat.

      3.   Karena ligamentum longitudinalis posterior pada daerah lumbal lebih

      kuat pada bagian tengahnya, maka protrusi discus cenderung terjadi

      kearah postero lateral, dengan kompresi radiks saraf.

      IV.    PENYEBAB


      Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya HNP

      1.   Aliran darah ke discus berkurang

      2.   Beban berat

      3.   Ligamentum longitudinalis posterior menyempit

      Jika beban pada discus bertambah, annulus fibrosus tidak kuat menahan nucleus pulposus (gel) akan keluar, akan timbul rasa nyeri oleh karena gel yang berada di canalis vertebralismenekan radiks.

      V.     ANATOMI


      Columna vertebralis adalah pilar utama tubuh. Merupakan struktur fleksibel yang dibentuk oleh tulang-tulang tak beraturan, disebut vertebrae.

      Vertebrae dikelompokkan sebagai berikut :

      hnp2

      –     Cervicales (7)

      –         Thoracicae (12)

      –         Lumbales (5)

      –         Sacroles (5, menyatu membentuk sacrum)

      –         Coccygeae (4, 3 yang bawah biasanya menyatu)

      Tulang vertebrae ini dihubungkan satu sama lainnya oleh ligamentum dan tulang rawan.

      Bagian anterior columna vertebralis terdiri dari corpus vertebrae yang dihubungkan satu sama lain oleh diskus fibrokartilago yang disebut discus invertebralis dan diperkuat oleh ligamentum longitudinalis anterior dan ligamentum longitudinalis posterior.

      hnp3

      Diskus invertebralis menyusun seperempat panjang columna vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat dimana banyak terjadi gerakan columna vertebralis, dan berfungsi sebagai sendi dan shock absorber agar kolumna vertebralis tidak cedera bila terjadi trauma.

      Discus intervertebralis terdiri dari lempeng rawan hyalin (Hyalin Cartilage Plate), nucleus pulposus (gel), dan annulus fibrosus. Sifat setengah cair dari nukleus pulposus, memungkinkannya berubah bentuk dan vertebrae dapat mengjungkit kedepan dan kebelakang diatas yang lain, seperti pada flexi dan ekstensi columna vertebralis.

      Dengan bertambahnya usia, kadar air nucleus pulposus menurun dan diganti oleh fibrokartilago. Sehingga pada usia lanjut, diskus ini tipis dan kurang lentur, dan sukar dibedakan dari anulus.

      Ligamen longitudinalis posterior di bagian L5-S1 sangat lemah, sehingga HNP sering terjadi di bagian postero lateral.

      hnp4

      hnp5

      Gambar . Diagram yang menunjukkan herniasi discus intervertebralis

      ke arah postero-lateral dan menekan akar  saraf spinal.

      hnp6

      hnp7



      VI.       DIAGNOSA

      a.      Anamnesa

      Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke bawah (mulai

      dari bokong, paha bagian belakang, tungkai bawah bagian atas).

      Dikarenakan mengikuti jalannya N. Ischiadicus yang mempersarafi kaki

      bagian belakang.

      1.         Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut,

      kemudian ke tungkai bawah. (sifat nyeri radikuler).

      2.         Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat

      barang berat.

      3.         Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 – S1

      (garis antara dua krista iliaka).

      4.         Nyeri Spontan

      Sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring ke duduk nyeri

      bertambah hebat.Sedangkan bila berbaring nyeri berkurang atau

      hilang.

      hnp8

      b.      Pemeriksaan

      • Motoris

      –         Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat.

      –         Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.

      • Sensoris

      –         Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat.

      –          Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.

      §         Tes-tes Khusus


      1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT)

      Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90°.

      2. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial dari ibu jari kaki (L5).

      3. Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki (L5), atau plantarfleksi (S1).

      Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit

      Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki

      4. Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan indikasi untuk segera operasi.

      5. Kadang-kadang terdapat anestesia di perincum, juga merupakan indikasi untuk operasi.

      6. Tes kernique

      hnp9

      §         Tes Refleks


      –         Refleks tendon achilles menurun atau menghilang jika radiks antara  L5    –   S1 terkena.

      c. Penunjang


      • Laborat

      –         Darah

      Tidak spesifik

      –         Urine

      Tidak spesifik

      –         Liquor Serebrospinalis

      Biasanya normal. Jika terjadi blok akan didapatkan peningkatan kadar protein ringan dengan adanya penyakit diskus. Kecil manfaatnya untuk diagnosis.

      • Foto

      –         Foto X-ray tulang belakang. Pada penyakit diskus, foto ini normal atau memperlihatkan perubahan degeneratif dengan penyempitan sela invertebrata dan pembentukan osteofit.

      –         Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus.

      –         CT scan untuk melihat lokasi HNP

      –         MRI tulang belakang bermanfaat untuk diagnosis kompresi medula spinalis atau kauda ekuina. Alat ini sedikit kurang teliti daripada CT scan dalam hal mengevaluasi gangguan radiks saraf.

      ▪     EMG

      Untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer

      hnp10

      hnp11

      Foto X-ray Tulang Belakang

      VII.     PENGOBATAN


      Perawatan utama untuk diskus hernia adalah diawali dengan istirahat dengan obat-obatan untuk nyeri dan anti inflamasi, diikuti dengan terapi fisik. Dengan cara ini, lebih dari 95 % penderita akan sembuh dan kembali pada aktivitas normalnya. Beberapa persen dari penderita butuh untuk terus mendapat perawatan lebih lanjut yang meliputi injeksi steroid atau pembedahan.

      a. Obat

      Untuk penderita dengan diskus hernia yang akut yang disebabkan oleh trauma (seperti kecelakaan mobil atau tertimpa benda yang sangat berat) dan segera diikuti dengan nyeri hebat di punggung dan kaki, obat pengurang rasa nyeri dan NSAIDS akan dianjurkan (MIS : fentanyl)

      Jika terdapat kaku pada punggung, obat anti kejang, disebut juga pelemas otot, biasanya diberikan. Kadang-kadang, steroid mungkin diberikan dalam bentuk pil atau langsung ke dalam darah lewat intravena. Pada pasien dengan nyeri hebat berikan analgesik disertai zat antispasmodik seperti diazepam. NSAID Nebumeton yang merupakan pro drugs dan efek sampingnya relatif lebih sakit, terutama efek sampingnya relatif lebih sakit, terutama efek samping terhadap saluran cerna, dengan dosis 1 gram / hari. Pemakaian jangka panjang biasanya terbatas pada NSAID’S, tapi adakalanya narkotika juga digunakan (jika nyeri tidak teratasi oleh NSAID’S). untuk orang yang tidak dapat melakukan terapi fisik karena rasa nyeri, injeksi steroid di belakang pada daerah herniasi dapat sangat membantu mengatasi rasa sakit untuk beberapa bulan. Dan disertai program terapi rutin. Muscle relexant diberikan parenteral dan hampir selalu secara iv.

      • D-tubokurarin klorida
      • Metokurin yodida
      • Galamin trietyodida
      • Suksinilkolin klorida
      • Dekametonium

      Derajat relaksasi otot dapat diatur dengan kecepatan infus

      • Transkuilizer

      b. Fisioterapi

      • Tirah baring (bed rest) 3 – 6 minggu dan maksud bila anulus fibrosis masih utuh (intact), sel bisa kembali ke tempat semula.
      • Simptomatis dengan menggunakan analgetika, muscle relaxan trankuilizer.
      • Kompres panas pada daerah nyeri atau sakit untuk meringankan nyeri.
      • Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila didapatkan kelainan neurologis, indikasi operasi.
      • Bila tidak ada kelainan neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat benda berat, tidur dengan alas keras atau landasan papan.
      • Fleksi lumbal
      • Pemakaian korset lumbal untuk mencegah gerakan lumbal yang berlebihan.
      • Jika gejala sembuh, aktifitas perlahan-lahan bertambah setelah beberapa hari atau lebih dan pasien diobati sebagai kasus ringan.

      hnp12

      c. Operasi

      Operasi lebih mungkin berhasil bila terdapat tanda-tanda obyektif adanya gangguan neurologis. Penderita yang telah didiagnosa HNP. Maka terapi konservatiplah yang harus diselenggarakan. Bilamana kasus HNP masih baru namun nyerinya tidak tertahan atau defisit motoriknya sudah jelas dan mengganggu, maka pertimbangan untuk operasi atau tidak sebaiknya diserahkan kepada dokter ahli bedah saraf. Faktor sosio ekonomi yang ikut menentukan operasi secepatnya atau tidak ialah profesi penderita. Seorang yang tidak dapat beristirahat cukup lama karena persoalan gaji dan cuti sakit, lebih baik menjalani tindakan operatif secepat mungkin daripada terapi konservatif ynag akan memerlukan cuti berkali-kali. Bilamana penderita HNP dioperasi yang akan memerlukan harus dibuat penyelidikan mielografi. Berdasarkan mielogram itu dokter ahli bedah saraf dapat memastikan adanya HNP serta lokasi dan ekstensinya. Diskografi merupakan penyelidikan diskus yang lebih infasif yang dilakukan bilamana mielografi tidak dapat meyakinkan adanya HNP, karena diskrografi adalah pemeriksaan diskus dengan menggunakan kontras, untuk melihat seberapa besar diskus yang keluar dari kanalis vertebralis.

      Diskectorny dilakukan untuk memindahkan bagian yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya sekitar 2 – 3 hari tinggal di rumah sakit. Akan diajurkan untuk berjalan pada hari pertama setelah operasi untuk mengurangi resiko pengumpulan darah.

      Untuk sembuh total memakan waktu beberapa minggu. Jika lebih dari satu diskus yang harus ditangani jika ada masalah lain selain herniasi diskus. Operasi yang lebih ekstensif mungkin diperlukan. Dan mungkin memerlukan waktu yang lebih lama untuk sembuh (recovery).

      Pilihan operasi lainnya meliputi mikrodiskectomy, prosedur memindahkan fragmen of nucleated disk melalui irisan yang sangat kecil dengan menggunakan – ray dan chemonucleosis.

      Chemonucleosis meliputi injeksi enzim (yang disebut chymopapain) ke dalam herniasi diskus untuk melarutkan substansi gelatin yang menonjol. Prosedur ini merupakan salah satu alternatif disectomy pada kasus-kasus tertentu.

      Kapan kita boleh melakukan latihan setelah cidera diskus? Biasanya penderita boleh memulai latihan setelah 4 s/d 6 minggu setelah ia diperbolehkan bangun atau turun dari tempat tidur.

      hnp13

      d.   Larangan

      • Peregangan yang mendadak pada punggung
      • Jangan sekali-kali mengangkat benda atau sesuatu dengan tubuh dalam keadaan fleksi atau dalam keadaan membungkuk.
      • Hindari kerja dan aktifitas fisik yang berat untuk mengurangi kambuhnya gejala setelah episode awal.

      d. Saran yang harus dikerjakan

      • Istirahat mutlak di tempat tidur, kasur harus yang padat. Diantara kasur dan tempat tidur harus dipasang papan atau “plywood” agar kasur jangan melengkung. Sikap berbaring terlentang tidak membantu lordosis lumbal yang lazim, maka bantal sebaiknya ditaruh di bawah pinggang. Orang sakit diperbolehkan untuk tidur miring dengan kedua tungkai sedikit ditekuk pada sendi lutut. Bilamana orang sakit dirawat di rumah sakit, maka sikap tubuh waktu istirahat lebih enak, oleh karena lordosis lumbal tidak mengganggu tidur terlentang jika fleksi lumbal dapat diatur oleh posisi tempat tidur rumah sakit.
      • Istirahat mutlak di tempat tidur berarti bahwa orang sakit tidak boleh bangun untuk mandi dan makan. Namun untuk keperluan buang air kecil dan besar orang sakit diperbolehkan meninggalkan tempat tidur. Oleh karena buang air besar dan kecil di pot sambil berbaring terlentang justru membebani tulang belakang lumbal lebih berat lagi.
      • Analgetika yang non adiktif perlu diberikan untuk menghilangkan nyeri.
      • Selama nyeri belum hilang fisioterapi untuk mencegah atrofi otot dan dekalsifikasi sebaiknya jangan dimulai setelah nyeri sudah hilang latihan gerakan sambil berbaring terlentang atau miring harus diajurkan.
      • Traksi dapat dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas yang sesuai dapat dilakukan “pelvic traction”, alat-alat untuk itu sudah automatik. Cara “pelvic traction”, sederhana kedua tungkai bebas untuk bergerak dan karena itu tidak menjemukan penderita. Maka pelvic traction dapat dilakukan dalam masa yang cukup lama bahkan terus-menerus. Latihan bisa dengan melakukan flexion excersise dan abdominal excersise.
      • Masa istirahat mutlak dapat ditentukan sesuai dengan tercapainya perbaikan. Bila iskhilagia sudah banyak hilang tanpa menggunakan analgetika, maka orang sakit diperbolehkan untuk makan dan mandi seperti biasa. Korset pinggang atau griddle support sebaiknya dipakai untuk masa peralihan ke mobilisasi penuh.
      • Penderita dapat ditolong dengan istirahat dan analegtika antirheumatika serta nasehat untuk jangan sekali-kali mengangkat benda berat, terutama dalam sikap membungkuk. Anjuran untuk segera kembali ke dokter bilamana terasa nyeri radikuler penting artinya. Dengan demikian ia datang kembali dan “sakit pinggang” yang lebih jelas mengarah ke lesi diskogenik.

      .

      DAFTAR PUSTAKA

      Snell, Richard S, Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, EGC, Jakarta, 1997, hal; 220;224;244-246.

      Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.

      Atlas Anatomi Manusia, Sobotta Jilid 2, EGC, Jakarta 2000, hal;24.

      Chandra, B, Neurologi Klinik, FK Unair, Surabaya, hal;178.

      Http://www.choirogeek.com/001_Tutorial Birth of HNP.htm

      Http://www.driho.com/lumbar_disc_surgery.htm

      Http://health.allrefer.com/health/herniated-nucleus-pulposus-slipped-disk-prognosis.htm

      Tinggalkan sebuah Komentar

      IMMOBILISASI LAMA

      I. PENDAHULUAN


      Semakin bertambahnya usia manusia dapat menimbulkan beberapa penyakit degenerasi, seperti mengalami gangguan pergerakan. Berbagai penyakit kronik yang diderita orang tua, membuat mereka menjadi IMMOBILE yaitu suatu keadaan tidak dapat bergerak yang dikarenakan akibat – akibat yang ditimbulkan oleh kondisi berbaring lama. Jadi bisa dikatakan bahwa immobilitas secara garis besar merupakan sindrom kemunduran fisiologis yang disebabkan oleh:

      • penurunan aktivitas
      • ketidakberdayaan

      Adapun dampak yang disebabkan karena immobilisasi adalah :

      1. Timbulnya berbagai penyakit, contohnya :
      • Otot menjadi kisut (atrofi)
      • Sendi kaku
      • Infeksi saluran nafas
      • Infeksi saluran kencing dan sembelit
      • Luka lecet pada jaringan kulit yang ditekan akibat tirah baring  lama

      2.Ketergantungan kepada orang lain

      3. Rendahnya kualitas hidup
      4. Kematian

      II. DEFINISI


      Imobilisasi adalah suatu keadaan dimana penderita harus istirahat di tempat tidur,tidak bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau gangguan pada alat / organ tubuh (impaitment) yang bersifat fisik atau mental. Dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan fungsi fisiologis.

      Didalam praktek medis imobilisasi digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan.

      III. EPIDEMIOLOGI


      Immobilisasi lama bisa terjadi pada semua orang tetapi kebanyakan terjadi pada orang – orang lanjut usia (lansia), pasca operasi yang membutuhkan tirah baring lama.

      Dampak imobilisasi lama terutama Dekubitus mencapai 11% dan terjadi dalam kurun waktu 2 minggu, Perawatan Emboli Paru berkisar 0,9%,dimana tiap 200.000 orang meninggal tiap tahunnya.

      IV. PENYEBAB


      Istirahat di tempat tidur lama dan inaktivitas menurunkan aktivitas metabolisme umum. Hal ini mengakibatkan penurunan kapasitas fungsional sistem tubuh yang multipel, dengan manifestasi klinis sindrom imobilisasi. Konsekuensi metaboliknya tidak tergantung penyebab untuk apa imobilisasi diresepkan. Hal ini bisa disebabkan oleh salah satu dari yang disebutkan dibawah ini:

      1.  Cedera tulang: penyakit reumatik seperti pengapuran tulang atau patah tulang (fraktur) tentu akan menghambat pergerakan.

      2.  Penyakit saraf: adanya stroke, penyakit parkinson, paralisis, dan gangguan saraf tapi juga menimbulkan gangguan pergerakan dan mengakibatkan imobilisasi.

      3.  Penyakit jantung dan pernapasan penyakit jantung dan pernapasan akan menimbulkan kelelahan dan sesak napas ketika beraktivitas. Akibatnya pasien dengan gangguan pada organ – organ tersebut akan mengurangi mobilisasinya. Ia cenderung lebih banyak duduk dan berbaring.

      4.  Gips ortopedik dan bidai.

      5.  Penyakit kritis yang memerlukan istirahat.

      6.  Menetap lama pada posisi gravitasi berkurang, seperti saat duduk atau berbaring.

      7.  Keadaan tanpa bobot diruang hampa, yaitu pergerakan tidak dibatasi, namun tanpa melawan gaya gravitasi.

      V. GAMBARAN ANATOMI

      1

      2


      VI. DIAGNOSA


      1. TULANG & SENDI

      A. Anatomi

      3

      Sendi adalah tempat dimana dua tulang saling berhubungan,baik terjadi pergerakan atau tidak.

      Stabilitas sendi tergantung pada :

      1. Bentuk, ukuran & susunan permukaan sendi
      2. Ligamentum
      3. Tonus otot yang terletak disekitar sendi

      Daya ekstensibilitas dari jaringan kendor yang berada di seputar sendi, jika tidak digerakkan akan menurun sehingga menyebabkan kekakuan yang mengakibatkan kontraktur.

      B.Anamnesa

      I.         Nyeri pada tulang dan sendi.
      II.         Kaku / susah digerakkan.
      III.         Nyeri leher.
      IV.         Arthritis pasca trauma.
      V.         Osteoporosis.

      C.Pemeriksaan Fisik

      Cedera tulang belakang harus selalu diduga pada kasus dimana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya pergerakan leher dan pinggang.

      4

      D.Pemeriksaan Penunjang

      • Pemeriksaan Radiologis

      Perlu dilakukan pemeriksaan radiografi tulang belakang servikal pada semua pasien cedera kepala sedang dan berat. Radiograf yang diambil di UGD kualitasnya tidak selalu baik dan bila tetap diduga adanya cedera tulang belakang, radiograf selanjutnya diambil lagi termasuk tampilan oblik bila perlu, serta (pada daerah servikal) dengan leher pada fleksi serta ekstensi bila diindikasikan. Tampilan melalui mulut terbuka perlu untuk memperlihatkan proses odontoid pada bidang antero – posterior.

      • Pemeriksaan Mielografi atau MRI

      2. SARAF

      A. Anatomi

      5

      B. Anamnesa

      1)   Daya hantar saraf menurun.

      2)   Koordinasi terganggu.

      3)   Aktivitas terganggu.

      C. Pemeriksaan Fisik

      Keadaan imobilisasi/keterbatsan aktifitas dapat merubah input sensoris. Hal ini akan mengakibatkan gangguan koordinasi pada intelektual dan kemampuan aktifitas motorik sehingga emosi terganggu.

      Contohnya pada penderita yang melakukan istirahat total di tempat tidur tanpa melakukan kegiatan apapun sehingga mengakibatkan pasien tersebut  mengeluh timbul rasa tidak nyaman, tegang, mudah marah. Selain itu hilangnya nafsu makan dan menolak terapi,sehingga akan nampak hilangnya inisiatif,agresifitas untuk menuju kesembuhan. Dapat juga dilihat pada saat penderita mengambil bolpoint, penderita mengalami kesulitan ( kecepatan hantar saraf turun ).

      D. Pemeriksaan Penunjang

      1. CT Scan
      2. EEG (Electro Encephalo Grafi)

      3. SISTEM KARDIOVASKULAR


      A. Anatomi

      6

      Efek immobilisasi meliputi: peningkatan tonus simpatikus (status adrenergik), peningkatan denyut jantung, penurunan efisiensi jantung.

      Mengakibatkan pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri.Kesulitan dalam mencapai posisi tegak mengganggu aktivitas fungsional.

      Salah satu resikonya flebotrombosis dan infark miocard akut.

      B. Anamnesa

      1. Pusing atau pingsan bila mencoba untuk berdiri (tegak).
      2. Mudah lelah

      C. Pemeriksaan FIsik

      Melakukan inspeksi, palpasi, perkusi.

      D. Pemeriksaan Penunjang

      • Laboratorium darah

      Kurangnya bergerak juga dapat menyebabkan aliran darah di extremitas bawah tidak lancar (stasis) yang mengganggu faktor – faktor pembekuan pada endotel pembuluh darah. Bila faktor pembekuan terganggu maka akan timbul bekuan darah (trombus) di katub – katub vena extremitas bawah,

      • Foto rontgen

      4.TRACTUS RESPIRATORIUS

      A. Anatomi


      Hidung> faring > laring >trachea > bronchus> bronkiolus>alveolus

      7

      Fungsi jalan pernapasan :

      1. 1.Udara dihangatkan  oleh permukaan konka dan septum à udara dilembabkan dalam jumlah besar sebelum melewati hidung à udara disaring oleh rambut dan jauh lebih banyak oleh prestisipasi partikel diatas konka. Disebut : ” Fungsi air conditioning ” jalan nafas atas
      2. Reflek batuk. Merupakan jalan agar paru bebas dari benda asing.
      3. Membersihkan saluran pernapasan terutama silia
      4. Vokalisasi

      B. Anamnesa

      1. Sekret susah keluar
      2. Sesak nafas

      C. Pemeriksaan Fisik

      Melakukan inspeksi, palpasi, perkusi

      8

      9

      10

      5.  KULIT

      11

      A. Anamnesa

      1. Atrofi kulit

      2. Ulkus tekan/ulkus dekubitus

      Temperatur meningkat di daerah pembuluh darah yang tertekan sehingga tekanan hidrostatiknya meningkat tekanan hidrostatik normal pembuluh darah maka pembuluh darah akan menyempit sehingga daerah daerah tertentu akan kekurangan vaskularisasi,hal ini dapat menyebabkan nekrosis.

      B. Pemeriksaan Fisik

      Kulit yang anestetik pada pasien paraplegik menyebabkan sakrum,trochanter major dan tumit cepat menjadi merah dan ulserasi bila perawatan terlantar.

      C. Pemeriksaan Penunjang

      • Laboratorium:

      a)    Tes kadar albumin

      b)   Tes hemoglobin

      6. MUSCULOSCELETAL


      A. Anatomi

      12


      B. Pemeriksaan Fisik

      Atrofi otot menyebabkan kekuatan otot menurun sehingga aktivitas terganggu.

      7. TRAKTUS URINARIUS

      A. Anatomi

      13

      B. Anamnesa

      1. Sisa urine

      Karena posisi baring pasien ini tidak dapat mengosongkan kandung    kemih secara sempurna.

      Infeksi Saluran Kemih

      Diakibatkan karena keadaan stagnasi urine maupun karena batu saluran kencing.

      2. Batu Saluran Kencing

      Karena factor osteoporosis dan diet yang tinggi kalsium maka mengakibatkan hiperkalsiuria.

      8. TRAKTUS DIGESTIVUS

      A. Anatomi

      14


      B. Anamnesa

      1. Konstipasi

      VI. TERAPI

      1. TULANG
      A. Obat

      • · Meningkatkan pembentukan tulang: Na – Florida, steroid anabolic.
      • Menghambat resorbsi tulang: kalsium, estrogen, kalsitonin, difosfonat.
      • Diet tinggi kalsium (1.000 mg/hari).

      B. Fisioterapi

      • Berlatih berjalan dengan alat bantu / alat penyangga.
      • Latihan teratur setiap hari, menggerakkan ekstremitas dan anggota tubuh lainnya (Range of Motion = ROM).

      C. Operasi

      Fusi secara bedah melintas garis fraktur dapat dilakukan. Pada tulang belakang servikal operasi dilakukan baik dari depan maupun belakang. Pada daerah toraks tulang belakang difiksasi dengan pelat metal dan tandur tulang yang menyatukan lamina dengan proses spinosus berdekatan.

      D. Larangan

      Hindari diet tinggi protein, kopi, alkohol, merokok, antasida aluminium.

      E. Saran

      Ranjang khusus, rangka, atau selubung plester dengan pasien dapat dirawat untuk waktu yang lama dengan mempertahankan posisi yang telah direduksi bahkan saat membalik untuk memandikan atau merawat kulit.

      2. SARAF

      A. Obat

      Minum vitamin B1, B2, B12.

      B. Fisioterapi

      Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada, memaksimalkan pemulihan neurologis, tindakan atas cedera lain yang menyertai, dan mencegah serta mengobati komplikasi serta sekuele kerusakan neural.

      Terapinya yang penting adalah dengan menggerakkan ekstremitas dan anggota tubuh lainnya supaya merangsang aktivitas saraf.

      C. Operasi

      Bila diperlukan operasi, dekompresi kanal spinal dilakukan pada saat yang sama.

      D. Larangan

      • Hindari hilangnya sensasi.
      • Hindari stress: perasaan tertekan, depresi.
      • Bekerja yang terlalu keras.

      E. Saran

      • Menggunakan terapi musik.
        • Ø Mintalah terapi rekreasi untuk integrasi psikososial, resosialisasi, dan penyesuaian terhadap fungsi mandiri.
        • Ø Berikan semangat pasien untuk berinteraksi dengan staf, pasien lain dan anggota keluarga.
        • Ø Segera lakukan operasi bila keadaan pasien memburuk untuk menghindari kelumpuhan.

      3. SISTEM KARDIOVASKULAR

      A. Obat

      • Antikoagulan: heparin, wasfarin.
      • Antitrombosis: aspirin, ticlopidin, dipiridamol, sulfin pirazon.
      • Trombolitik: streptokinase, urokinase, anistreplase.

      B. Fisioterapi

      • Sasaran terapi adalah mempertahankan fungsi kerja jantung yang optimal dan menyingkirkan adanya gangguan kerja jantung yang normal.
      • Melatih terutama otot ekstremitas.

      C. Larangan

      • Hindari diet tinggi lemak dan kolesterol.
      • Hindari stress.
      • Bekerja terlalu berat
      • Hindari Kelelahan

      D. Saran yang harus dikerjakan

      • Plantar / dorso fleksi
      • Aktivitas.
      • Berdiri .

      4. TRACTUS RESPIRATORIUS

      A. Obat

      • Bronkodilator: teofilin, agonis B2, prednisone, atropine, kromolin.
      • Mukolitik: bromheksin, ambroksol, asetil sistein.
      • Ekspektorat: aluminium klorida, gliseril gualakolat, kalium yodida.
      • Kortikosteroid.

      B. Fisioterapi

      • Latihan pernafasan (mengambil nafas dalam – dalam).
        • Ø Pembalikan tubuh berulang, perangsangan batuk, pernafasan dalam, Spirometri insentif, dan pernafasan bertekanan positif yang sinambung dengan masker adalah cara mempertahankan ekspansi paru-paru atau kapasitas residual fungsional.
        • Ø Tracheostomi dilakukan bila pasien tak mungkin dilepaskan dari ventilator.
        • Ø Perkusi dilakukan dengan tujuan melepaskan sekret di dinding saluran napas.

      C. Larangan

      • Hindari ruangan berasap (polusi udara).
      • Hindari merokok.
      • Hindari alkohol.

      D. Saran yang harus dikerjakan

      • Gunakan pakaian yang longgar.
      • Sediakan O2 linhaler (untu mengatasi sesak nafas).
      • Rekreasi ke alam terbuka bebas polusi.

      5. KULIT

      A. Obat

      Bila timbul luka diberi antiseptik.

      B. Fisioterapi

      • Perubahan posisi badan setiap 2 jam.
      • Latihan gerak sendi – sendi tubuh secara teratur

      C. Larangan

      • Ø Jangan tidur atau berbaring terlalu lama.
      • Jangan biarkan kulit menjadi basah karena keringat,lembab atau kencing.

      D. Saran

      Menghindari melebarnya luka dengan menutup bagian yang luka terutama pada bagian yang tertekan saat berbaring.

      6. MUSCULOSCELETAL

      A. Terapi

      – Latihan teratur setiap hari,menggerakkan ekstremitas dan anggota tubuh lainnya -,ROM ( Range of Motion )

      – Latihan penguatan (stretching )

      B. Larangan

      Mengangkat beban terlalu berat.

      C. Saran

      Sama dengan terapi

      TRAKTUS URINARIUS

      Pencegahan dan penanganan yang dilakukan untuk mengatasi terjadinya keadaan patologi pada system urinarius yang terjadi akibat imobilisasi lama, adalah dengan cara:

      1. Mobilisasi sedini mungkin, paling tidak pasien sering didudukkan, mengubah posisi vesika urinaria
      2. Banyak minum sekitar 3 liter (8-12gelas) dalam sehari
        1. Pantaulah pasien dengan cermat dan rutin terhadap adanya tanda dan gejala hiperkalsemia, ISK, dan terapi secara adekuat.
      3. Supaya tidak retensi urine dipasang kateter.

      8. TRAKTUS DIGESTIVUS

      Sesegera mungkin melakukan aktivitas maksimal, memberikan dorongan semangat untuk berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan, pendekatan dokter, terapi dan perawat.

      Saran:

      1. Makan banyak buah-buahan,sayur-sayuran.

      TERAPI UMUM IMOBILISASI LAMA

      15

      .

      DAFTAR PUSTAKA

      Ganong, F. William Buku ajar Fisiologi kedokteran. Penerbit: EGC, 1998.

      Dasar – Dasar Terapi Dan Rehabilitasi Fisik, Susan J. Garrison.

      Neurologi Klinik Dasar, Prof. DR. Mahaar Mardjono Dan Prof. DR. Priguna Sidharta.

      Neurologi Klinik, Prof. Dr. dr. S.M. Lumantobing.

      Ilmu Kedokteran Fisik Dan Rehabilitasi Medik, RSUD Dr. Soetomo / FK Unair Sby, 1992

      http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/war-2.htm

      http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan/2002/093/kes1.htm

      http://www.amsar.com/smu-indo/bahasa/images/5-2.jpg

      http://web.indstate.edu/ehcme/psp/elabs/radiology/chf-xtray.jpg

      http://yogapoint.com/iamges/brain4.jpg

      http://www.medused.com/iamges/inventory-picture/41619-02.jpg

      Tinggalkan sebuah Komentar

      KONJUNGTIVITIS KLAMIDIA

      TRACHOMA

      Trachoma adalah salah satu penyakit  paling tua. Penyakit ini diketahui menjadi penyebab trikiasis sejak abad ke – 27 SM dan mengenai semua bangsa . Dengan 300 – 600 juta penduduk dunia yang terkena , keadaan ini merupakan salah satu penyakit menahun yang paling banyak di jumpai Variasi regional prevalensi dan berat penyakit  dapat dijelaskan  berdasarkan variasi hygiene perorangan dan standar kehidupan masyarakat dunia, keadaan cuaca tempat tinggal, usia saat terkena, serta frekuensi dan jenis infeksi bacterial mata yang sudah ada. Tracoma yang membutakan terdapat pada banyak daerah Afrika, beberapa daerah Asia, diantara suku aborigin Australia, dan Brazil utara. Masyarakat dengan trachoma lebih ringan yang tidak membutakan terdapat didaerah yang sama  dan beberapa daerah Amerika Latin dan Pulau Pasifik.

      Trachoma umumnya bilateral .Penyakit ini menyebar melalui kontak langsung  atau bahan kontak, umumnya dari anggota keluarga lain  (saudara kandung,orang tua ), yang juga harus di periksa. Vektor serangga, khususnya lalat dan sejenis agas, dapat berperan sebagai penular. Bentuk akut penyakit ini lebih infeksius dari pada bentuk sikatriks, dan makin besar bahan penularnya, makin berat penyakit ini. Penyebaransering disertai epidemic konjungtivitisbakterial dan musim kemarau di negara tropik dan subtopik.

      Temuan Klinik

      1. Tanda dan Gejala: Ttachoma mulanya adalah konjungtivitis folikuler menahun pada masa kanak –kanak, yang berkembang sampai pembentukan paru konjungtiva. Pada kasus berat , pembalikan bulu mata kedalam  terjadi pada masa dewasa muda sebagai akibat parut konjungtiva yang berat. Abrasi terus – menerus oleh bulu mata  yang menbalik itu dan gangguan pada film air mata  berakibat parut pada kornea, ummnya setelah usia  50 tahun.

      Masa inkubasi trachoma rata – rata 7 hari, namun bervariasi dari 5 sampai 14 hari .pada bayi atau anak biasnya timbulnya  diam – diam, dan penyakit itu dapat sembuh dengan sedikit atau tampa konplikasi. Pada orang dewasa, timbulnya sering aku atau subakut, dan komplikasi cepat berkembang. Pada saat timbulnya.trachoma sering mirip konjungtivitis bacteria, tanda dan gejala biasanya berair mata, fotofobia, sakit, eksudasi, edema palpebra, kemosis konjungtiva bulbi, hyperemia, hipertrofi papiler, folikel tarsal dan limbal (gambar 5-4), keratoitis superior, pembentukan pannus dan nodus preaurikuler kecil dan nyeri tekan.

      Pada trachoma yang sudah terdiagnosis, mungkin juga terdapat keratitis epitel superior, keratitis subepitel, panus, folikel limbus superior, dan akhirnya sisa katriks patognomotik pada folikel- folikel ini, yang dikeanal sebagai sumur – sumur Herbert — depresi kecil dalam jaringan ikat dibatas limbus – kornea, ditutupi epitel. Pannus terkait adalah membrane fibrovaskuler yang timbul dari limbus, dengan lengkung – lengkung vaskuler meluas keatas kornea (gambar 5-5 ).semua tanda trachoma lebih.

      Berat pada konjungtiva dan kornea bagian atas dari pada  bagian bawah.

      Untuk memastikan trachoma endemic dikeluarga atau masyarakat, sejumblah anak harus menunjukan sekurang – kurangnya dua tanda berikut:

      (1)   Lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal rata pada palpebra superior mata.

      (2)   Parut konjungtiva  khas di konjungtiva tarsal superior.

      (3) Folikel limbus atau sekuelenya (sumur Herbert).

      (4) Perluasan pembuluh darah keatas kornea, paling jelas di limbus atas.

      Biarpun kadang – kadang Ada orang yang memenuhi criteria ini, penyebaran tanda –tanda ini yang luas dalam keluarga dan masyarakatlah yang menentukan adanya trachoma.

      Untuk pengendalian, World Health Organization telah mengembangakn cara sederhana untuk memeriksakan penyakit itu. Ini mencakkup tanda – tanda sebagai berikut :

      TF : lima atau lebih folikel pada konjungtiva tarsal atas.

      TI : Infitrasi difus dan hipertrofi papilr konjungtiva atas yang sekurang kurangnya menutupi 50% pembuluh profunda normal.

      TS : Parut konjungtiva trachomatosa.

      TT : Trikiasi atau entropion ( bulu mata tyerbalik ke dalam ).

      CO : kekeruhan kornea.

      Adanya TF dan Ti menunjukan trachoma infeksiosa aktif yang harus diobati. TS adalah bukti cedera akibat penyakit ini. TT berpotensi membutakan dan merupakan indikasi untuk tindakan operasi kokreasi palpebra. CO adalah lesi yang terakhir membutakan dari trachoma.

      1. Temuan laboratorium : Inkulasi klamida dapat ditemukan pada kerokan konjungtiva yang di pulas dengan Giemsa, namun tidak selalu ada. Inklusi ini pada sediaan dipulas Giemsa tampak sebagai massa sitoplasma biru  atau ungu gelap yang sangat halus , yang menutupi inti dari sel epitel (Gambar 5-6). Pulasan antibody fluorescein dan tes immuno – assay enzim tersedia dipasaran dan banyak dipakai dilabotarium klinik. Tes baru ini telah menggantikan pulasan Giemsa untuk sediaan hapus konjungtiva dan isolasi agen klamidial dalam biakan sel.

      Secara morfologik, agen trachoma mirip dengan agen konjungtivitis inkulasi, namun keduanya dapat dibedakan secara serologic dengan mikroimunofluorescences. Trachoma disebabkan oleh Chalmydia trachomatis seroipe A,B,Ba atau C.

      Diagnosis Differensial

      Faktor epidemiologic dan klinik yang dipertimbangkan dalam membedakan trachoma dari bentuk konjungtivitis folikuler lainnya yang diringkas sebagai berikut :

      1. Tidak ada riwayat pernah terpapar trachoma endemic bertentangan dengan diagnosis
      2. Konjungtivitis folikuler virus ( akibat infeksi adenovirus, virus herpes simpleks, picorna virus dan coxsachievirus ) umumnya mulainya akut dan dan jelas menyembuh selang waktu 2 – 3 minggu.
      3. Infeksi dengan strain klamidia yang ditularkan melalui hubungan kelamin biasanya biasanya bermula akut pada individu yang seksual aktiv.
      4. Konjungtivitis folikuler menahun oleh bahan – bahan eksogen

      Diagnosis Diferensial

      Factor epidemiologik dan klinik yang perlu dipertimbangkan dalam membedakan trachoma dari bentuk konjungtivitis folikuer lainnya diringkaskan sebagai berikut :

      (1)   Tidak pernah ada riwayat terpapar trachoma endemik bertentangan dengan diagnosis.

      (2)   Konjungtivitis folikuler virus (akibat infeksi adenovirus herpes simleks, picornavirus , dan coxsa chievirus) umumnya mulainya akut dan jelas menyembuh selang 2-3 minggu.

      (3)   Infeksi dengan strain klamida yang ditularkan melalui hubungan klkamin biasanya bermula akut pada individu yang seksul aktif.

      (4)   Konjungtivitis folikuler menahun oleh bahan – bahan eksogen (noduli molluscom palbera,medikasi mata topical) menyembuh berlahan bila noduli dibuang atau obat dihentikan.

      (5)   Sindrom okuloglandular Parinaud bermanifestasi sebagai limfonnodus leher atau preaurikular yang massif dan besar , walau lesi konjungtiva mungkin folikuler.

      (6)   Anak –anak kecil sering memiliki sejumblah folikel (seperti tonsila yang hipertrofi), suatu keadaan yang dikenal sebagai folikulosis.

      (7)   Kondisi – kondisi atopik konjungtivitis vernal dan kratokonjungtivitis atopik iikuti dengan papilla raksasa yang meninggi dansering polygonal, engan tampilan merah – keputihan. Eisinofil tampak dalam sediaan hapus.

      (8)   Selidiki adanya riwayat intoleransi lensa kontak pada pasien dengan perut dan pannus konjungtiva ; papila raksasa pada beberapa pemakai lensa kontak dapat dikacauian dengan folikel trachoma.

      Komlikasi & Sekuele

      Parut di konjungtiva dalah komplikasi yang sring terjadi pada trachoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakmal tambahan dan menutupi muara kelejar lakrimal.hal ini secara drastis mengurangi komponen air dalam film air mata pre- kornea, dan komponen mukus film mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet.luka parut itu  juga mengubah bentuk palpebra superior dengan membalik bulu mata kedalam (trikiasis) atau seluruh tepian palpebra (entropian), sehingga bulu mata  terus –menerus menggesek kornea.ini berakibat ulserasi pada kornea,infeksi bacterial kornea, dan parut pada kornea.

      Ptosis (Gambar 5-8), obstrusi doktus nasolakrimalis, dan dakriosistitis adalah komplikasi umum lainnya pada trachoma.

      Terapi

      Perbaikan klinik mencolok umumnya dicapai dengan tetracycline,1-1,5 g/ hari per os dalam empat dosis selama 3-4 minggu ; doxycycline,100 mg per os 2 kali sehari selama 3 minggu; atau erythromycin, 1 g / hari per os dibagi dalam empat dosis selama 3-4 minggu. Kadang-kadang diperlukan beberapa kali kur ( pengobatan) agar benar –benar sembuh. Tetracycline sistemik jangan diberi pada anak dibawah umur 7 tahun atau untuk wanita hamil. Karena tetracycline mengikat kalsium pada gigi yang berkembang dan tulang yang tumbuh dan dapat berakibat gigi permanen menjadi kekuningan dan kelainan kerangkan (mis, clavicula).

      Salep atau tetes topikal, termasuk preparat sulfonamide, tetracycline, erythromycin dan rifampin, empat kali sehari selama enam minggu, sama efektifnya.

      Saat mulai terapi, efek maksimum biasanya belum dicapai selama 10 – 12 minggu. Karena itu, tetap adanya folikel pada trasesus superior selama beberapa minggu setelah terapi berjalan jangan dipakai sebagai bukti kegagalan terapi.

      Koreksi bulu mata yang membalik kedalam melalui bedah adalah esensial untuk mencegah parut trachoma lanjut di Negara berkembang. Tindakan bedah ini kadang –kadang dilakukan oleh dokter bukan ahli mata atau orang yang dilatih kusus.

      Perjalanan Penyakit & Prognosis

      Khas,trachoma adalah penyakit menahun yang berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci muka pada anak –anak ), penyakit ini sembuh atau bertambah ringan sehingga sekuele berat terhindarkan. Sekitar 6 – 9 juta orang di dunia telah kehilangan penglihatannya karena trachoma.

      Trachoma

      Trachoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang di sebabkan oleh trachomatis.

      Penyakit ini dapat mengenai segala umur tapi lebih banyak diemukan pada orang muda dan anak –anak. Daerah yang banyak terkena adalah di Semenanjung Balkan. Ras yang banyak terkena banyak ditemukanpada ras  Yahudi, penduduk asli Australia dan Indian Amerika  atau daerah dengan higiene yang kurang.

      Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan secret penderita trachoma atau melalui alat –alat kebutuhan sehari – hari seperti handuk , alat –alat kecantintikan dan lain – lain masa inkubasi rata – rata 7 hari (berkisar dari 5 sampai 14 hari).

      Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtiva dengan pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel – sel polimorfonuklear,tetapi sel plasma, sel leber dan sel folikel (limfoblas ) dapat juga ditemukan. Sel leber menyokong suatu suatu dignosis Trachoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostic yang penting bagi Trachoma. Terdapat badan inkusi Harber Statter –rowazeck didalam sel epitel konjungtiva yang bersifat basofil berupa granul, biasanya berbentuk cungkup seakan –akan menggenggam nukleus. Kadang – kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.

      Keluhan pasien adalah fotofobia, mata gatal,dan berair

      Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melaui empat stadium :

      1. Stadium insipien.
      2. Stadium established ( dibedakan atas dua bentuk )
      3. Stadioum parut
      4. Stadium sembuh.

      Stadium 1 (hiperplasi limfoid) : Terdapat hipertropi papil dengan folikel yang kecil – kecil pada konjungtiva tartus superior, yang memperlihattkan penebalan dan kongesti pada pembuluh darah konjungtiva. Secret yang sedikit dan jernih bila tidak ada infeksi sekunder. Kelainan kornea sukar diteukan tetapi kadang –kadang dapat ditemukan neovaskularisasi dan keratitis epitelial ringan.

      Stadium 2 : Terdapat hipertrofi papiler dan polikel yang matang  ( besar ) pada konjujngtiva tartus superior.pada stadium ini dapat ditemukan pannus Trachoma yang jelas. Terdapat hipertrofi papil yang berat yang seolah – olah mengalahkan gambaran folikel pada konjungtiva superior. Pannus adlah pembuluh darah yang terletak didaerah limbus atas dengan infiltrate.

      Stadium 3 : terdapat parut pada konjungtiva tartus suprrior yang terlihat sebagai garis putih yang halus sejajar dengan margo palpebra. Parut folikel pada limbus kornea disebut cekungan  Herbert. Gambaran papil mulai berkurang .

      Stadium 4 : Suatu pembentukan parut yang sempurna pada konjungtiva yang dapat menyebabkan perubahan bentuk pada tartus yang menyebabkan enteropion dan trikiasis.

      Diagnosis banding adalah konjungtivitis inkulasi.

      Pengobatan Trachoma dengan tetrasiklin salep mata, 2-4 kali sehari, 3-4 minggu , sulfonamid diberikan bila ada penyulit . pencegahan dilakukan dengan vaksinasi dan makanan yang bergizi dan higiene yang baik mencegah penyebaran.

      Penyukit Trachoma adalah enteropin, trikiasis,siblefaron,kekeruhan kornea , dan xerosis/keratitis sika.

      Klasifikasi danTrachoma menurut  Mc Callan.

      Stadium                             Nama                                                    Gejala

      Stadium I Trachoma insipien                                Folikel imatur,

      hipertrofi papiler minimal

      Stadium II                   Trachoma                                          Folikel matur pada

      daratan tarsal atas

      Stadium IIA                      dengan                                                keratitis,

      Hipertrofi folikuler                         folikel limbal

      Yang menonjol

      Stadium IIB                   Dengan                                   Aktivitas kuat dengan folikel

      Hipertrofi papiler                  matur tertimbun dibawah                                           yang menonjol                        hipertropi papilar yang hebat

      Stadium III                     Trachoma                                 Parut pada konjungtiva

      Memarut                                  tarsal atas, permulaan

      (sikatrik)                                   trikialis,enteropion

      Stadium IV                         Trachoma                                 tak aktif,

      Sembuh                                  tak ada hipertrofi papilar

      atau folikular, parut dalam

      bermacam derajat variasi.

      Peyman- Sasnders – Goldberg. : “principles and practice of Opthalmology”. Philadelphia* London* Toronto. W.B.Saunders.1980. p.317. Table 5-10.Mac Callans Classification and Statification of Trachoma by Clinical Intensity.

      Diagnosis Banding Trachoma , Konjungtivis Folikularis ,Vernal Catarrh.

      Trachoma

      Konjungtivitis

      Vernal

      Folikularis

      Katarh

      gambaran (kasus dini ) papula kecil penonjolan merah – muda nodul lebar datar dalam susunan
      lesi atau bercak merah pucat tersusun teratur “cobblestone” pada konjungtiva
      bertaburan dengan bintik seperti deretan “beads” tarsal atas dan bawah, diselimuti
      putih-kuning (folikel trauma) lapisan susu
      pada konjungtiva tarsal
      (kasus lanjut) granula
      (menyerupai butir sago) dan
      parut, terutama konjungtiva
      tarsal atas
      ukuran penonjolan besar konjungtiva penonjolan kecil terutama penonjolan besar tipe tarsus atau
      lesi tarsal  atas dan teristimewa konjungtiva tarsal bawah & palpebra; konjungtiva tarsus
      lokasi lipatan retroitarsal kornea fornikd bawah tarsus tidak terlibat, forniks bebas konjungtiva
      lesi panus , bawah infilitrasi abu terlibat tarsus bebas (tipe campuran
      2 pembuluh tarsus terlihat lazim) tarsus tidak terlibat
      tipe kotoran air berbusa atau Mukoid atau purulen Bergetah, bertali, seperti susu
      lesi “frothy” pada stadium lanjut
      Pulasan kerokan epitel dari kerokan tidak karakteristik Eosinofil karakteristik dan konstan
      konjungtiva dan kornea (Koch- Weeks,Morax – pada sekresi
      memperlihatkan proliferensi, Axenfeld, mikrokokus
      inkulasi selular kataralis stafilokokus,
      pneumokokus).
      penyulit kornea:panus atau kekeruhan Ulkus kornea Infiltrasi kornea (tipe limbal)
      atau konea xerosis kornea
      sekuele Konjungtiva : Simlerafaron
      Palpebra: Ektropion atau Blefaritis Ektropion Pseudoptosis (tipe tarsal)
      Entropion Trikiasis

      Tinggalkan sebuah Komentar

      HIPERTENSI RENOVASKULER

      Pendahuluan

      Hipertensi dibagi menjadi dua  golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, dan hipertensi sekunder.  Hipertensi esensial meliputi kurang lebih 90 % dari seluruh penderita hipertensi dan sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder.  Dari golongan hipertensi sekunder hanya 50 %  yang dapat diketahui sebabnya,  oleh karena itu upaya untuk penanganan hipertensi esensial lebih mendapatkan prioritas.

      Menurut WHO (1978) batasan tekanan darah yang masih dianggap normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau di atas 160/95 mmHg dinyatakan sebagai  Hipertensi, tekanan darah diantara normotensi  dan hipertensi adalah borderline hipertensi.  Batasan tersebut tidak membedakan usia dan jenis kelamin.

      The sixth Report of the Joint Comitee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (1997) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolic 90 mmHg atau lebih. Dapat dilihat pada tabel 1.

      Tabel 1.  Klasifikasi  tekanan darah untuk yang berumur 18 tahun atau lebih

      Katagori

      Sistolik

      Diastolik

      Optimal

      < 120

      dan

      < 80

      Normal

      < 130

      dan

      < 85

      Normal  tinggi

      130-139

      atau

      85-90

      Hipertensi

      Derajat 1

      140-159

      atau

      90-99

      Derajat 2

      160-179

      atau

      100-109

      Derajat 3

      > 180

      atau

      > 110

      Hipertensi renovaskuler adalah  salah satu bentuk hipertensi sekunder.  Prevalensinya yang pasti belum diketahui, diperkirakan sekitar 5 % dari seluruh populasi hipertensi dan merupakan penyebab terbanyak dari hipertensi sekunder.  Diagnosis untuk hipertensi ini sering dilewatkan, padahal diagnosis pasti diperlukan.  Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang dapat diobati/disembuhkan pada setiap umur.   Hipertensi ini juga merupakan salah satu penyebab gagal ginjal kronis yang potensial untuk reversibel.

      Batasan

      Hipertensi renovaskuler didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah sekunder yang disebabkan oleh berbagai kondisi yang berhubungan dengan arteri ke jaringan ginjal, atau hipertensi yang disebabkan oleh lesi arteri renalis yang dapat sembuh setelah koreksi terhadap lesi tersebut atau dengan mengangkat ginjal yang bersangkutan. Diagnosis pasti hipertensi renovaskuler ditegakkan secara retrospektif , yaitu setelah dilakukan  tindakan koreksi.

      Walaupun secara morfologis didapatkan suatu lesi ataupun kelainan pada arteri renalis, namun hubungan hipertensi dengan lesi pada arteri renalis yang diduga sebagai penyebab hipertensi tersebut dipastikan setelah melakukan koreksi terhadap lesi tersebut.. sebelum dilakukan tindakan nefrektomi, tidak dapat disimpulkan apakah hipertensi disebabkan oleh hipoplasia ginjal atau oklsi dari pembuluh darah ginjal tersebut atau oleh kedua-duanya.

      Bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung lama dan menjadi bagian dari suatu sindrom hipertensi maka sifat reversibilitasnya akan hilang, karena mungkin akibat hipertensi ini telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal.

      Etiologi dan Patofisiologi

      1.  Etiologi

      Penyebab yang tersering   dari hipertensi renovaskuler adalah aterosklerosis arteri renalis dan displasi muskuler.  Kedua kelainan ini merupakan 95 % dari penyebab hipertensi renovaskuler.  Gambaran yang menyeluruh penyebab hipertensi renovaskuler  dapat dilihat pada tabel 2.

      Tabel 2.  Types of lession associated with renovaskuler hypertension

      Intrinsic Lession

      -Atherosklerosis

      -Fibromuskular displasia

      -intimal

      -medial

      -Aneurysm

      -Emboli

      -Arteritis

      -polyarteritis nodusa

      -Arteriovenous malformation atau fistula

      -Renal artery or aortic dessection

      -Angioma

      -Neufibromatosis

      -Tumor thrombus

      -Trombosis with antiphospolipid syndrome

      -Rejection of renal transplatasion

      -Injury of the renal artery

      -trombosis after umbilical artery catheteryzation

      -surgical ligation

      -trauma

      -Radiation

      -Lithotripsy

      -Congenital unilateral renal hipoplasia

      -Unilateral renal infection

      Extrensic Lessions

      -Pheochromacythoma or paraganglioma

      -Congenital fibrous band

      -Pressure from diaphragmatic crus

      -Tumor

      -Subcapsular or perirenal tumor

      -Retroperitoneal fibrosis

      -Ptosis

      -Ureteral obtruction

      -Perirenal pseudocyst

      -Stenosis of celiac axis wih steal of renal blood flow.

      Dikutip dari :  Kapplan Clinical Hypertension, eight edition

      3.1.1.   Aterosklerosis

      Lesi aterosklerotik pada arteri renalis terutama terjadi pada segmen   proksimalnya, yang merupakan komplikasi aterosklerosis secara menyeluruh.  WHO pada tahun 1958 mendefinisikan sebagai berikut :  “Perubahan variabel intima arteri yang merupakan akumulasi fokal lemak (lipid), komplek karbohidrat, darah dan hasil produk darah, jaringan fibrous dan deposit kalsium yang kemudian diikuti dengan perubahan lapisan media.

      Beberapa faktor  yang dapat mempengaruhi dan merangsang terbentuknya aterosklerosis.  Faktor-faktor ini disebut faktor resiko.  Faktor resiko ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang tidak dapat dimodifikasi.  Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah: merokok, hiperlipoproteinemia dan hiperkolesterolnemia, hipertensi, diabetes mellitus dan obesitas.  Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin (pria), riwayat keluarga dengan penyakit aterosklerosis.

      Merokok dapat merangsang  proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap dingding arteri.  Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri, nikotin menyebabkan mobilisasi katekolamin yang dapat menambahkan reaksi trombosit dan menyebabkan kerusakan pada dingding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan hipersensitif dingding arteri.

      3.1.2. .  Fibromuskular displasia

      Penyakit fibromuskular umumnya mengenai kelompok usia muda, wanita lebih sering  terkena daripada pria penyakit fibrodisplasi umumnya mengenai  bagian distal arteri renalis atau cabang intra renalnya biasanya terjadi bilateral, fibromuskular displasia dapat menyebabkan hipertensi tapi kadang-kadang dapat menyebabkan kerusakan yang hebat pada fungsi ginjal, fibromuskular displasia merupakan kelainan congenital yang autosomal dominan.

      1. Fibroplasia intima

      Bentuk yang paling jarang ( 1%), jenis primer, idiopathic, penebalan intima melingkar, terdapat jaringan fibrous, materi seperti musin, dengan sebukan sedikit atau sedang.  Sering ada reduplikasi membran elastika interna, sedangkan tunika media dan adventisia masih baik.  Kelainan intima juga dijumpai pada kasus hipertensi maligna dimana tekanan darah dapat dikontrol dengan obat jangka panjang dan hemodialisa jangka panjang.

      1. Fibrodisplasia media dengan aneurisma mural

      Angka kejadian 64 % dari seluruh kasus displasia, terutama pada wanita muda dan sering pada 2/3 bagian distal arteri renalis yang sering meluas ke cabang pertama arteri dan kebanyakan bilateral.  Pada arteriografi sering terlihat sebagai pita sosis atau pita manik-manik.  Pada lesi tersebut terdapat penimbunan jaringan ikat dan sel otot polos yang atropik sehingga lumen menyempit (berupa pita) diselingi dengan mikroaneurisma (berupa manik) yang dasarnya membran elastika yang  kebanyakan menebal sedangkan tunika media hilang.  Tunika intima normal tetapi membran elastika interna hilang atau menebal.

      1. Fibrodisplasia perimedial

      Angka kejadian 20 % dari seluruh displasi, secara mikroskopis terlihat 1/2-2/3 bagian luar tunika media diganti dengan jaringan kolagen.  Aneurisma tidak ada, intima normal atau terlihat beberapa focus penebalan jaringan fibrous.  Tunika elastika ekterna biasanya sedikit menebal.

      1. Lesi Adventisia

      Fibroplasi periarterial ditemukan paling jarang (1%).  Adventisia diganti jaringan kolagen yang meluas ke jaringan fibrous yang berlemak.  Jaringan adventisia diinfiltrasi secara fokal oleh limfosit dan sel plasma.  Lapisan lain normal.

      2.  Patofisiologi

      2.1.  Peranan Sistem Renin Angiotensin

      Pada saat awal terjadinya penyempitan lumen arteri renalis (stenosis), baik pada cabang utama ataupun cabang segmental, aparatus juxtaglomerular akan melepaskan renin yang menyebabkan pembentukan angiotensin I, yang kemudian diubah diginjal menjadi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi pada arteriol eferen ginjal. Hal ini menyebabkan meningkatnya tekanan  pada pembuluh darah ginjal proksimal.

      Peningkatan tekanan arteriol ginjal dapat mensupresi sekresi renin. Walaupun proses ini kemudian akan menyebabkan hipertensi, tekanan darah sistematik dan aktivitas renin perifer pada tahap ini tetap normal Dengan bertambahnya stenosis  pada arteri renalis, terjadi tekanan pada arteriol aferen dan meningkatkan kembali sekresi renin.

      Pada sirkulasi sistemik, aktifitas renin menyebabkan produksi angiotensin I yang diubah oleh angiotensin converting enzyme menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor yang poten hingga terjadilah hipertensi sistemik. Angiotensin II juga memfasilitasi sekresi norepinefrin dan meningkatkan efeknya. Karena menstimulasi sekresi aldosteron, angiostensin II juga menstimulasi reabsorbsi natrium pada tubulus ginjal. Dengan peningkatan tekanan darah terjadi natriurisasi, pada ginjal yang sehat, untuk mengurangi retensi Na. Tetapi, pada stenosis bilateral hal ini tidak mencukupi hingga volum tetap meningkat dan terjadi hipertensi .

      Tingginya kadar renin pada pemeriksaan aktifitas renin plasma menunjukkan bahwa terdapat iskemi pada ginjal tersebut sebagai akibat dari penurunan aliran darah ke ginjal oleh suatu oklusi dan suplai darah melalui aliran kolateral tidak mencukupi untuk ginjal tersebut

      2.2.  Pengaruh hemodinamik

      Jika stenosis arteri renalis timbul pada ginjal soliter,maka tidak terdapat ginjal kontralateral yang dapat mengeluarkan fraksi natrium yang diretensi sebagai hasil dari sistem renin-angiotensin-aldosteron. Akibatnya, volum meningkat, tekanan darah meningkat, diikuti kembalinya perfusi pada ginjal soliter. Ketika perfusi arteriol ginjal kembali normal, sekresi renin menurun, aktivitas renin perifer mungkin normal. Hipertensi pada keadaan ini disebabkan terutama oleh ekspansi volume. Sistem renin dan angiotensin pada kasus ini seakan-akan tertutupi ( masking effect ). Kondisi ini dapat terjadi pada stenosis arteri renalis bilateral. Jika volume dikurangi dengan pemberian terapi diuretik, perfusi ke ginjal menurun dan sekresi renin dapat kembali meningkat . Pada pasien ini, peningkatan tekanan darah bukan melalui mekanisme ekspansi volume namun melalui mekanisme yang pertama, yaitu vasokonstriksi.

      2.3.  Pengaruh Posisi Ginjal (Nefroptosis)

      Nefroptosis atau mobilitas ginjal yang abnormal  diduga menyebabkan tertekuknya arteri renalis yang akan menyulut  terjadinya fibrosis dan obstruksi, Penderita dengan nefroptosis didapatkan penurunan laju filtrasi glomerulus lebih menurun pada posisi tegak.

      2.4.  Pengaruh Faktor Hormonal yang lain

      Hipertensi renovaskuler dapat mengakibatkan hiperaldosteronism sekunder sedang sampai berat, hal ini dapat diakibatkan oleh adanya dissosiasi aktivitas kadar plasma renin dengan kadar angiotensin II, dapat juga disebabkan karena adanya keseimbangan natrium yang  berubah dalam hal sensitivitas terhadap angiotensin II.  Adanya kekurangan natrium akan memperbesar respon aldosteron terhadap Angiotensin II pada sel glomerulus.

      Plasma katekolamin mungkin normal pada penderita hipertensi renovaskuler tanpa adanya azotemia, beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem syaraf simpatis berperan bagi timbulnya fluktuasi tekanan darah, karena adanya korelasi antara tekanan darah dengan kadar norepineprin dan renin.

      Prostaglandin juga dapat meningkat dalam darah vena ginjal dan urin pada penderita hipertensi renovaskuler, prostaglandin dapat meningkatkan pelepasan renin pada penderita hipertensi renovaskuler, diduga akibat ginjal yang mengalami iskhemik.

      Gambaran Klinis

      Tanpa anamnesis yang jelas tentang mana yang terjadi terlebih dahulu antara hipertensi dan penyakit ginjal,sangat sukar untuk memastikan apakah hipertensi yang terdapat pada seseorang penderita dengan penyakit ginjal adalah primer ataukah sekunder. Pada  dasarnya pada tiap penderita hipertensi haluslah dilakukan evaluasi yang baik untuk menetapkan diagnosis, sehingga pengobatannya  bersifat kausal. Perlu dilakukan :

      1. anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dan teliti.
      2. pemeriksaan laboratarium awal meliputi pemeriksaan urinalisis, darah lengkap, LED, BUN dan kreatinin serum, gula darah dan lemak darah.
      3. elektrokardiogram, echokar diogram dan foto toraks.

      Pemeriksaan klinis sederhana tersebut biasanya sudah cukup untuk membedakan sebagian besar penderita hipertensi sekunder dari hipertensi esensiil.

      Untuk hipertensi renovaskuler ada beberapa kekususan anemnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat membantu.

      Anamnesis :

      –         Nyeri perut atau pinggang  disertai timbulnya hipertensi.

      –         Hipertensi mendadak pada penderita dibawah umur 30 tahun atau diatas umur 50 tahun.

      –         Timbulnya “ accelerated hypertension “ pada penderita diatas 60 tahun.

      –         Hipertensi membangkang terhadap obat.

      –         Pernah mengalami CVA atau tromboemboli sebelumnya.

      –         Tidak ada riwayat  hipertensi dalam keluarga

      –         Menjeleknya fungsi ginjal setelah diterapi dengan ACEI

      –         Merokok

      Fisik :

      –         terdengarnya bising vaskuler ( bruit ) di daerah perut atau kostovetebral.

      Laboratory:

      –         Hiperaldosteronism

      –         Peningkatan plasma renin

      –         Proteinuria

      –         Peningkatan serum kreatinin

      –         Perbedaan ukuran ginjal >1.5 cm pada sonography

      5.  Diagnosis

      Di bawah ini ditunjukkan indek  dari gambaran klinik yang dicurigai akan kemungkinan Hipertensi renovaskuler dan pemeriksan penunjang yang perlu.

      Index yang bernilai rendah (tidak perlu dilakukan test screening)

      • Borderline hipertensi, hipertensi ringan sampai sedang tanpa

      disertai gejala yang klinik.

      Index yang bernilai sedang (dianjurkan pemeriksaan yang non invasive)

      • Hipertensi berat (tekanan diastolik .120 mmHg)
      • Hipertensi dengan dugaan adanya bruit pada abdomen.
      • Hipertensi yang tidak mempan dengan terapi standar
      • Hipertensi sedang atau berat  yang muncul tiba-tiba pada umur <20 tahun atau >50 tahun
      • Hipertensi sedang (tekanan diastolic >105 mmHg) pada perokok, atau  pada penderita  yang mengalami penyumbatan pembuluh darah arteri (cerebrovaskuler, coronary, pembuluh darah perifer), atau pada pasien dengan peningkatan serum kreatinin yang tidak dapat dijelaskan.
      • Hipertensi sedang atau berat yang mempunyai respon yang baik (menjadi  normal) dengan pengobatan ACEI atau ARB (khususnya pada perokok atau penderita hipertensi yang onset cepat)

      Index yang bernilai tinggi (boleh langsung dilaksanakan arteriography)

      • Hipertensi berat (tekanan diastolik, >120 mmHg) dengan

      Insufisiensi renal yang progresif atau yang refrakter terhadap             pengobatan yang adekuat.

      • Hipertensi maligna ( retinopathy grade iii atau iv)
      • Hipertensi dengan peningkatan serum kreatinin yang tidak dapat dijelaskan, yang dipicu oleh  ACEI atau ARB
      • Hipertensi sedang atau berat dengan perbedaan ukuran dari  kedua ginjal.

      Pemerikasaan Penunjang

      Diagnosis hipertensi renovaskuler didasarkan atas dua tahap pemeriksaan yaitu tes seleksi (screening test) dan tes penentu (confirmative test)

      1.  Tes seleksi

      a. Pyelografi intravena,

      Dugaan hipertensi renovaskuler timbul bila ditemukan :

      – Perbedaan panjang ukuran kedua ginjal lebih dari 1,5 cm

      ischemia yang terjadi  karena stenosis arteri renalis menyebabkan ukuran ginjal     berkurang

      – Terlihatnya kontras pada sisi sakit terlambat.

      Bahan kontras yodium sebagian besar disekresi melalui filtrasi glomelurus, pada    stenosis kecepatan filtrasi glomelurus menurun , sehingga eksresi yodium terlambat .  Untuk menangkap hal tersebut lebih jelas foto harus dibuat setiap 5 menit pertama.

      – Kadar bahan kontras dalam system kalises di sisi yang sakit bertambah.

      Sebabnya adalah karena stenosis arteri renalis menyebabkan reabsorpsi air di sisi sakit bertambah.  Jadi meskipun kecepatan filtrasi glomelurus berkurang, karena hal tersebut di atas itu pada fase ekskresi kadar bahan kontras di saluran kalises bertambah.

      – Stenosis atau takik ureter

      penyempitan ureter yang biasanya letaknya di bagian atas karena ada pembuluh   darah kolateral yang melewati tempat tersebut

      b.  Aktivitas Renin Plasma

      Aktivitas renin plasma perifer basal meningkat pada sekitar 70 %  hipertensi renovaskuler dan 30 % diantaranya normal.  Di samping pemeriksan ARP basal, juga bisa dikerjakan tes kaptopril atas efek kaptopril dalam menghambat pembentukan angiotensin II.  Pada pemberian kaptopril pasien hipertensi renovaskuler akan mengalami peningkatan aktivitas renin plasma.

      c. Renogram hippuran

      Pada renogram akan tampak perbedaan waktu untukmencapai puncak lebih dari 40 detik, pelambatan dalam eleminasi Hippuran dari kortek, dan perbedaan dalam ukuran dan aliran darah kedua ginjal.

      2. Tes Penentu

      a.  Arteriografi ginjal.

      Dengan tindakan ini di samping diagnosis pasti ditegakkan, juga dapat diketahui sifat dan lokasi stenosis yang terjadi.   Merupakan pemeriksaan yang sangat penting, terutama pada kasus renovaskuler bilateral karena sering tidak ditemukan pada pemeriksaan yang non invasive.  Dengan pemeriksaan ini dapat dilihat sifat dan lokasi stenosis serta perubahan pembuluh darah parenkim sebagai penyebab stenosis arteri renalis seperti aneurisma, tumor, hematoma perirenal.

      Penyempitan lumen sampai lebih kecil dari 1,5 cm menyebabkan perubahan hemodinamik yang jelas, begitu pula bila diameter melintang ginjal sisi yang sakit mengurang yang menimbulkan kolateral ke kapsula, glandula adrenalis atau ureter.  Pada penderita dengan lekukan berat atau penyempitan berat aorta abdominalis atau arteri dalam rongga pelvis dilakukan aortografi translumbal dengan anastesi umum.  Lesi di luar atau di dalam parenkim biasanya disebabkan karena hiperplasi fibromuskuler, dapat dilihat dengan arteriografi ginjal terpisah.

      Pada pembacaan hasil foto harus diperhatikan :

      –         Adanya desakan

      –         Adanya dilatasi pasca kortek

      –         Tebal kortek ginjal sisi sakit

      –         Tebal kortek ginjal kontralateral dan kondisi arteri arkuata dan arteri intralobularis

      –         Besar ginjal

      Gambaran stenosis arteri renalis pada angiografi :

      Stenosis karena perubahan dingding pembuluh darah arteri renalis terlihat sirkuler.  Kebanyakan konsentrik dan kadang-kadang eksentrik, terletak beberapa mm dari orifisium aorta.  Beberapa ateroma sering terlihat pada dingding aorta.  Bila lumen mengecil sampai 30 % sering terlihat dilatasi pasca stenosis.  Pada stenosis yang sangat berat atau penyumbatan total, terlihat kolateral.

      Gambaran displasi arterial pada angiografi :

      Terletak sepertiga tengah arteri renalis yang kadang-kadang meluas sampai bagian distal dan cabang sekunder, bentuk lesi ada dua macam yaitu:

      -Difus berupa manik-manik

      -terlokalisasi dalam bentuk anuler, tubuler dan hourglass.

      Untuk tindakan yang tidak invasif (non invasive) dilakukan Magnetic Renosance Angiography (MRA).

      Penatalaksanaan

      Dalam penatalaksanaan disini perlu diperhatikan beberapa faktor yaijadian ateroma ini juga dapat dijumpai pada tempat lain, misalnya di jantung arau di otak, tidak jelas apakah stenosis arteri renalis menyebabkan hipertensi atau kejadiaanya konsidental atau merupakan konsekuensi dari hipertensi.  Revaskularisasi  dengan pembedahan dan angioplasti yang dilakukan memberikan hasil yang baik dan mampu mengontrol tekanan darah, khususnya untuk usia muda tetapi tidak untuk usia lanjut.

      b. Sifat dan Lokasi Lesi

      Pada beberapa penderita lesi penyumbatan karena atherosklerosis dapat cepat bertambah atau menetap untuk beberapa tahun, hanya sebagian kecil kasus penyumbatan mengurang setelah pengobatan terhada[ lipidemia dan diet rendah lemak.   Lesi cabang arteri renalis yang terletak di pelvis umumnya tidak dioperasi, bila infark kortek ginjal terlokalisasi dan sekresi renin bertambah, dilakukan nefrektomi pada bagian tersebut.  Pada infark multiple, pengobatan bersifat medikamentosa

      d. Derajat aterosklerosis

      Hipertensi renovaskuler pada orang tua dengan insufisiensi derajat sedang atau berat pembuluh darah otak atau koroner, pengobatannya lebih baik konservatif.  Bila kondisi pasien memburuk dan penyumbatan lebih dari 90 % sebaiknya dilakukan nefrektomi.

      e. Fungsi ginjal

      Pada kasus dengan klirens kreatinin <25-30 ml/menit dan kreatinin lebih dari 2.5 mg/dl, tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi.  Prognosis juga jelek bila sumbatan arteri renalis bilateral.

      f. Lebar dan tebal kortek ginjal

      Pengukuran dilakukan pada film arteriografi seri vaskuler penuh.  Pada orang dewasa , tebal kortek normal lebih besar dari 5,5 – 6 mm.  Bila ukuran tebal kortek ginjal kontralaterel lebih kecil dari dari 5,5, mm, diduga merupakan akibat aterosklerosis pada arteri arkuata dan arteri lobularis yang berarti bahwa hipertensi  cukup berat dan berlangsung sudah lama.  Bila hal ini terjadi pada sisi sakit, berarti hipertensi essensial sebelumnya.  Pada kasus tersebut tindakan operasi tidak memperbaiki hipertensi.

      Ada tiga pilihan dalam tata laksana dalam pengelolaan hipertensi  renovaskuler, yaitu operasi (pembedahan), angioplasti dan medikamentosa.  Pemilihan ini biasanya disesuaikan dengan etiologi dan kondisi pasien sendiri.  Dua tujuan yang ingin dicapai pada keadaan ini adalah menghilangkan atau mengatasi hipertensinya dan mempertahankan atau mencegah bertambah buruknya fungsi ginjal.

      a.   Pembedahan

      Rekonstruksi arteri merupakan salah satu pilihan dalam pengobatan hipertensi renovaskuler yang disebabkan oleh stenosis arteri renalis  revaskularisasi bedah dengan stenosis arteri renalis meliputi endarterektomi dan pintasan aortorenal, baik dengan vena autogen ataupun graft, autoransplantasi ginjal, serta reanastomosis langsung.

      Nefrektomi saat ini diperuntukan bagi yang gagal dalam revaskularisasi bedah, jika terdapat komplikasi dalam pembedaan atau jika fungsi ginjal yang terkena sudah buruk. Oklusi total arteri renalis dengan ginjal yang sudah tidak berfungsi sudah sejak lama dilakukan tindakan nefrektomi, namun setelah 1970 telah dilakukan proses revaskularisasi terhadap sejumlah pasien dan hasilnya berupa kembalinya fungsi ginjal serta hipertensi dapat dikontrol . Nefrektomi pada ginjal dilakukan karena fungsi ginjal tersebut sudah sangat menurun. Ini diketahui dari pemeriksaan scintigrafi ginjal.

      Ginjal dengan oklusi total arteri renalis dapat dilakukan revaskularisasi jika kriteria berikut dipenuhi, adanya kolateral atau pengisian retrogad oleh arteri renalis distal dari kolateral, adanya perdarahan balik dari ginjal saat arteriotomi distal dari sumbatan selama operasi, dan pada pemeriksaan biopsi potong beku (frozen section) tampak glomerulus viabel secara hitologis.  Jika terdapat keraguan intra operatif untuk menentukan viabilitas ginjal, biopsi ginjal cukup membantu.

      b.  Angioplasti Ginjal

      Tehnik angioplasti dengan balon pertama kali dipelopori oleh Dotter dan Judikins pada tahun 1964 dengan mnggunakan kateter koksial untuk menghasilkan dilatasi yang progresif pada arteri renalis yang mengalami stenosis.

      Keberhasilan tindakan Percutaneus Transluminal Angioplasty pertama kali dilaporkan oleh McCook dkk 1980. PTA untuk pengobatan stenosis arteri renalis, yaitu pada stenosis yang tidak terlalu panjang serta di luar ginjal. Komplikasi setelah prosedur ini tidak jarang didapatkan seperti oklusi dan diseksi ataupun pecahnya dinding pembuluh darah. Tindakan PTA kurang berhasil jika stenosis terdapat pada ostium arteri renalis

      Angioplasti renovaskuler merupakan tindakan terpilih dalam pengelolaan hipertensi renovaskuler, khususnya yang disebabkan oleh displasia fibromuskuler.

      c. Medikamentosa

      Tindakan pembedahan dan angioplasti merupakan tindakan yang sering dilaksanakan untuk revaskularisasi ginjal yang iskhemik, namun bila tindakan ini tidak berhasil atau tidak dapat dilaksanakan  maka pengobatan dengan medikamentosa harus dilaksanakan, ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam pengobatan medikamentosa yaitu memperlambat progesivitas arteri renalis dan untuk mengurangi efek hemodinamik dari tekanan darah pada fungsi ginjal.

      Penghambat ACE,   Dapat digunakan sebagai alat bantu menegakkan diagnosis dan terapi pasien hipertensi renal.  Kaptopril dosis tunggal merupakan tes penapisan yang terbaik untuk menentukan adanya hipertensi renal.  Respon dari penghambat ACE  terhadap kenaikan tekanan darah sesuai dengan aktivitas renin plasma, respon ini lebih besar pada hipertensi renovaskuler dibandingkan dengan hipertensi esensial.  Penderita dengan stenosis bilateral juga menunjukkan penurunan tekanan darah seperti pada stenosis unilateral,

      Hal ini dipikirkan karena efek angiotensin II pada pembuluh darah efferent ginjal, dimana GFR harus dipertahankan meskipun terjadi penurunan tekanan darah.  Sejumlah bukti menunjukkan gangguan akibat pasca iskemik yang berlangsung lama (2 minggu) kurang berespon terhadap tes ini dibandingkan dengan keadaan akut reversibilitas

      Pada pasien dengan  ginjal yang normal penghambat ACE akan meningkatkan aliran darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerorus, penderita dengan stenosis bilateral atau dengan stenosis arteri ginjal yang unilateral, pengobatan dengan penghambat ACE mungkin dapat menyebabkan kenaikan yang dramatis serum kretinin dan urea nitrogen darah (BUN), bahkan kadang-kadang dapat menyebabkan gagal ginjal yang akut.

      Antagonis Kalsium,  antagonis kalsium berbeda dengan vasodilator yang lain, dalam hal penurunan tekanan darah akan menyebabkan kenaikan GFR, ia juga merupakan suatu vasodilator yang berefek pada arteriol afferent.  Pada pasien hipertensi renovaskuler obat ini tidak akan menyebabkan gangguan fungsi seperti pada penghambat ACE.

      Klonidin, pemberian klonidin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah secara mendadak pada pasien hipertensi renovaskuler, klonidin juga tidak menurunkan aktivitas renin plasma yang biasanya disertai kenaikan norepineprin yang rendah.

      Beta Bloker, juga efektif dalam menurunkan tekanan darah karena kerjanya menghambat sekresi renin, tetapi resiko terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus pada ginjal stenotik tetap terjadi.

      Diuretik dapat digunakan pada hipertensi yang resisten tetapi pada umumnya tidak terlalu efektif.

      Prognosis

      Hipertensi jenis ini merupakan hipertensi yang dapat disembuhkan atau diobati pada setiap umur.  Hipertensi ini juga merupakan salah satu penyebab gagal hinjal kronis yang  potensial unjtuk reversible.  Namun bila hipertensi renovaskuler ini berlangsung lama dan menjadi bagian dari suatu sindroma hipertensi maka sifat reversibilitas akan hilang karena mungkin telah terjadi kerusakan pada ginjal dan pembuluh darah non renal

      Tinggalkan sebuah Komentar

      Systemic lupus erythematosus (SLE)

      PENDAHULUAN

      Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune complex . Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan.

      Dari berbagai penelitian epidemiologik terlihat bahwa angka kejadian penyakit ini semakin meningkat dengan nyata, sebagian mungkin karena bertambah baiknya pemahaman dokter mengenai cara-cara mengdiagnosis SLE. Meskipun harapan hidup penderita SLE di negara-negara barat semakin baik, tetapi di negara berkembang termasuk Indonesia, ternyata masih belum memuaskan

      Patogenesis SLE sampai sekarang belum dipahami secara tuntas, meski jelas hal ini berhubungan dengan hilngnya toleransi diri (self tolerance), yang mengakibatkan terbentuknya autoantibody dan selanjutnya menyebabkan kerusakan jaringan. Lebih jauh lagi diketahui bahwa kerusakan jaringan itu tidak hanya diperantai oleh immune complex, tetapi juga oleh sel T, sitokin, kemokin serta molekul radikal oxygen teraktivasi dan produk-produk dari aktivasi komplemen.

      Penatalaksanaan SLE tetap merupakan masalah karena sampai saat ini belum ada penamganan yang menghasilkan penyembuhan secara total, dapat terjadi eksaserbasi  setelah masa stabil beberapa bulan dan juga efek samping pengobatan.

      KLASIFIKASI

      SLE adalah salah satu dari beberapa jenis lupus (tabel 1). Jenis lain adalah lupus kutaneus (dikoid) kronik, lupus karena obat, lupus kutaneus subakut, dan lupus neonatal. Penderita dengan gambaran seperti lupus, tetapi tidak memenuhikriteria biasanya didiagnosa sebagaai undiferentiented connective tissue disease (UCTD).

      Tabel 1. tipe lupus Erytematous (koopman, 2000)

      1.

      Systemik lupus erytematous (SLE)

      2.

      Chronik cutaneus (discoid) lupus (CLE)

      3.

      Subacute cutaneus lupus erytematous (SCLE)

      4.

      Drug-induced lupus erytematous (DILE)

      5.

      Neonatal lupus erytematous

      Terdapat 14 kriteria untuk SLE,diagnosa dapat ditegakkan jika mempunyai 4 kriteria atau lebih.Pada tahun 1982, kriteria ini di revisi menjadi hanya 11 item. Tahun 1997 kriteria ini juga mengalami  revisi pada kriteria yang ke-10 yaitu adanya sel LE tidak lagi digunakan sebagai salah satu kriteria.

      Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:

      1. 1. Malar rash.
      2. 2. Discoid rashi.
      3. Fotosensitivitas
      4. Ulkus oral
      5. Arthritis .
      6. Serositis.
      7. Gangguan Renal .
      8. Kelainan neorologis.
      9. Kelainan hematologis.
      10. Kelainan imunologis.
      11. Antibodi antinuclear .

      Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.

      PATOGENESIS

      Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinyaa respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi aantigenik spesifik padaa kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibody dan pembentukan immune complex. Subset patogen autoantibody dan deposit immune complex dijaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE.

      Antigen dari luar yang akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan seperti : apoptosis,aktivasi atau kematian sel tubuh,sedangkan beberapa antigen tubuh tidak dikenal(self antigan) contoh: nucleosomes,U1RP,Ro/SS-A.Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B.Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada receptornya sehingga menghasilkan suatu antibody yang merugikan tubuh.Antibody yang dibentuk peptida ini dan antibody yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus,sel endotel,trombosit).Disisi lain antibody juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk immune complex yang merusak berbagai organ bila mengendap.

      Perubahan abnormal dalam system imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA,DNA dan phospolipid dalam system imun tubuh.Beberapa autoantibody dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibody tersebut dapat berikatan dengan glycoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit.Pada sisi lain antibody dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis.

      Peningkatan immune complex sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap.Immune complex juga berkaitan dengan complemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit.

      Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit immune complex yang melibatkan berbagai aktivasi complemen ,PMN dan berbagai mediator inflamasi.

      Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine.Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibody.

      Berbagai keadaaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE :

      Sel T  :

      -Lymphopenia

      -Penurunan sel T suppressor

      -Peningkatan sel T helper

      -Penurunan memory dan CD4

      -Penurunan aktivasi sel T suppressor

      -Peningkatan aktivasi sel T helper

      Sel B :

      -Aktivasi sel B

      -Peningkatan respon terhadap cytokine.

      Bagian  terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas.

      GEJALA KLINIS

      Onset penyakit dapat spontan atau didahului factor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari,infeksi,obat,penghentian kehamilan,trauma fisik/psikis.Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam,malise,kelemahan,anorexia,berat badan menurun,iritabilitas.Demam ialah manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil.

      Manifestasi kulit berupa butterfly appearance.Manifestasi kulit yang lain berupa lesi discoid,erythema palmaris,periungual erythema,alopecia.Mucous membran lession cenderung muncul pada periode exacerbasi.pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud.

      Manifestasi gastrointestinal berupa nausea,diare,GIT discomfort.Gejala menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobait dengan adekuat.Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis sterildan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.Arteritis juga dapat menimbulkan pancreatitis.

      Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia,myalgia,myopathi.

      Joint symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita.Atritis cenderung menjadi deformasi,dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan pada pemeriksaan radiografi.

      Manifestasi ocular ,termasuk conjungtivitis,fotofobia,transient atau permanent monooculr blindness dan pandangan kabur.Pada pemeriksaan fundus dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina(cytoid bodies).

      Pleurisi , pleural effusion , bronchopneumonia , pneumonitis sering dijumpai.Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral.Mungkin didapatkan sel LE pada cairan pleura.Pleural effusion menghilang dengan terapi yang adekuat.Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai.

      Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari micarditis dan hipertensi.Cardiac aritmia juga sering dijumpai.Valvular incompetence yang sering dijumpai adalah mitral regurgitasi.

      Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan dihubungkan dengan polyarteritis nodusa ,termasuk ditemukan adanya aneurysma pada percabangannya.Abdominal pain (setelah makan),illeus,peritonitis,perforasi dapat terjadi.

      Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis,epilepsi,sindroma otak organik ,periferal dan cranial neuropathies,transverse myelitis,stroke.Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid.Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikan dosis steroid.Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikan,dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan.

      Komplikasi  renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik.Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria.Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus.Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan.Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi ,insidens yang bermakna semakin menurun.Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat.Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik,hipertensi,gagal ginjal kronik.

      Adenopathi menyeluruh dapat ditemukan,terutama pada anak-anak,dewassa muda,dan kulit hitam.Splenomegali terjadi pada 10% penderita.Secara histologis lien menunjukan fibrosis periarterial(onion skin lesion).

      Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan ,tetapi jarang disertai icterus.

      Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE.

      Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP jarang ditemukan.Anti Ds-DNA,hipocomplementemia serta complex immune juga jarang ditemukan.

      PEMERIKSAAN LABORATORIUM

      Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan :

      1.Hematologi

      Ditemukan anemia,leukopenia,trombocytopenia.

      2.Kelainan imunologi

      Ditemukan ANA,Anti-Ds-DNA,rheumatoid factor,STS false positive,dan lain-lain.

      ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE.Antibody double-stranded DNA(Anti-Ds DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive.Depresi pada serum complement(didapatkan pada fase aktif)dapat berubah menjadi normal pada remisi.Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas daripada perjalanan penyakit SLE ,tetapi anti-Sm tidak.

      Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1)berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA.

      Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin(PTT).

      Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif.

      Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal.Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan.Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif.

      Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya.

      Autoantibody pada penderita SLE.

      Incidence % Antigen detected Clinical importance
      Antinuclear antibodies 98 Multiple nuclear Substrat sel manusia lebih sensitive dari murine. Pemeriksaan negatif yang berturut-turut menyingkirkan SLE.
      Anti-DNA 70 DNA(ds) Spesifik untuk SLE;Anti-ssDNA tidak.Titer yang tinggi berkorelasi dengan nephritis dan tingkat aktivitas SLE.
      Anti-Sm 30 Protein complexed to 6 species or small nuclear RNA Spesifik untuk SLE.
      Anti-RNP 40 Protein complexed to U1RNA Titer tinggi pada sindrom dengan manifestasi polimyositis,scleroderma,lupus dan mixed connective tissue disease.Jika + tanpa anti-DNA,resiko untuk nephritis rendah.
      Anti-Ro(SS-A) 30 Protein complexed to y1-y5 RNA. Berhubungan dengan Sjorgen’s Syndrome,subacute cutaneus lupus,inherited C’ deficiencies,ANA-negative lupus,lupus in eldery,neonatal lupus,congenital heart block.Dapat menyebabkan nephritis.
      Anti-La(SS-B) 10 Phosphoprotein Selalu berhubungan dengan anti-Ro.Resiko nephritis rendah bila +.Berhubungan dengan Sjorgen’s Synd.
      Antihistone 70 Histones Lebih banyak pada drug induced lupus(95%) daripada spontaneous lupus.
      Antiphospholipid 50 Phospholipid 3 tipe- lupus anticoagulan(LA),anticardiolipin(aCL),dan false-positive test for syphilis(BFP).LA dan aCL berhubungan dengan clotting,fetal loss,thrombocytopenia,valvular heart disease.Antibodi pada β2-glycoprotein I bagian dari grup ini.
      Antierythrocyte 60 Erythrocyte Jumlah sedikit dari antibody ini dapat mrnnyebabkan hemolisis.
      Antiplatelet 30 Platelet surface + cytoplasma Berhubungan dengan thrombocytopenia pada 15% penderita.
      Antilymphocyte 70 Lymphocyte surface Kemungkinan berhubungan dengan leukopenia dan abnormal fungsi sel T.
      Antiribosomal 20 Ribosomal P protein Berhubungan dengan psikosis atau depresi dengan CNS SLE.
      ANA Anti-Native DNA Rheumatoid Factor Anti-Sm Ani-SS-A Anti-SS-B Anti SCL-70 Anti Centromere Anti-Jo-1 ANCA
      Rheumatoid Arthritis 30-60 0-5 72-85 0 0-5 0-2 0 0 0 0
      SLE 95-100 60 20 10-25 15-20 5-20 0 0 0 0-1
      Sjorgen Syndrome 95 0 75 0 60-70 60-70 0 0 0 0
      Diffuse scleroderma 80-95 0 25-33 0 0 0 33 1 0 0
      Limited scleroderma(CREST syndrome) 80-95 0 33 0 0 0 20 50 0 0
      Polymiositis 80-95 0 33 0 0 0 0 0 20-30 0
      Wegener’s granulomatosis 0-15 0 50 0 0 0 0 0 0 93-96

      ANA = Antinuclear antibody , ANCA = Anticytoplasmic antibody

      Semua angka diatas menunjukan frekwansi dalam %.

      Frekwensi pemeriksaan abnormal yang didapatkan pada pemeriksaan laboratorium pad SLE.

      Anemia 60%

      Leukopenia 45%

      Trombocytopenia 30%

      False test for syphilis 25%

      Lupus anticoagulant 7%

      Anti-cardiolipin antibody 25%

      Direct coomb test positive 30%

      Proteinuria 30%

      Hematuria 30%

      Hypocomplementemia 60%

      ANA 95-100%

      Anti-native DNA 50%

      Anti-Sm 20%

      ___________________________________________________________

      Beberapa obat dapat menyebabkan ANA tes positf dan kadang-kadang sindroma mirip lupus.Gejala menghilang jika obat dihentikan segera.

      Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE  terhadap orang dengan predisposisi genetic.

      Definite ascociation

      Chlorpromazine                     Methyldopa

      Hydralazine                            Procainamide

      Isoniazid                                 Quinidine

      Possible ascociation

      Beta-blocker                          Methimazole

      Captopril                                Nitrofurantion

      Carbamazepine                    Penicillinamine

      Cimetidine                             Phenitoin

      Ethosuximide             Propylthiouracil

      Hydrazine                               Sulfasalazine

      Levodopa                               Sulfonamide

      Lithium                                    Trimethadione

      Unlikely ascociation

      Allopurinol                              Penicillin

      Chlortalidone                         Phenylbutazone

      Gold salt                                 Reserpine

      Griseofulvin                            Streptomycin

      Methysergide             Tetracycline

      Oral contraceptive

      __________________________________________________________

      DIAGNOSIS

      Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

      1.Wanita muda

      2Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari

      3.Manifestasi sendi

      4.Depresi dari hemoglobin,sel darah putih,sel darah merah,trombosit

      5.Tes serologi ynag positif(ANA,anti-native DNA,serum complemen yang rendah).

      Diagnosis pasti dapat ditegakan bila 4 atau lebih dari 11 kriteria ARA terpenuhi.

      Kriteria SLE dari ARA, tahun 1997:

      1.Malar rash

      erythema yang fixed,datar/meninggi.Letaknya pada malar,biasanya tidak mengenai lipatan nasolabial.

      2.Discoid rash

      Lesi erythemetous yang meninggi dengan squama keratotic.Kadang tampak scar yang atofi.

      3.Fotosensitivitas.

      Diketahui melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik.

      4.Ulkus oral

      Ulserasi dimulut atau nasofaring,biasanya tidak nyeri.

      5.Arthritis

      nonerosive arthritis melibatkan 2 atau lebih dari sendi perifer. Ditandai dengan nyeri,bengkak,atau efusi.

      6.Serositis

      Pada pleuritis didapatkan riwayat nyeri pleural,pleural friction rub,efusi pleura.Pada pericarditis tampak pada ECG,gesekan pericard,efusi pericard.

      7.Gangguan Renal

      proteinuria >0,5 g/hari atau >3+,atau cellular cast berupa eritrosit,hemoglobin granular,tubular,atau campuran.

      8.Kelainan neorologis

      psikosis,kejang-kejang (tanpa sebab yang jelas).

      9.Kelainan hematologis

      anemia hemolitic

      leukopenia(<4000/μL)

      limfopenia (<1500/μL)

      trombositopenia (<100.000/μL).

      10.Kelainan imunologis

      Anti ds-DNA  , Anti-Sm(antibody terhadap antigen otot polos)  ,Antifosfolipid antibody,STS false positve.

      11.Antibodi antinuclear

      ANA test +.

      Penderita dikatakan mempunyai SLE jika terdapat minimal 4 kriteria terpenuhi, baik secara bersamaan ataupun simultan, selama observasi.

      DIAGNOSIS BANDING

      -Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.

      -Endokarditis bacterial subacute.

      -Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit.

      -Drug eruption.

      -Limfoma.

      -Leukemia.

      -Trombotik trombositopeni purpura.

      -Sarcoidosis.

      -Lues II

      -Bacterial sepsis.

      PROGNOSIS

      Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama.

      Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

      TATALAKSANA

      Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna).Meskipun begitu dokter  bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya fase akut tidak terjadi.Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala,juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari.

      Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin.

      Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE,yaitu:

      1.Monitoring teratur

      2.Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup

      3.Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sun screen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari

      4.Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat.

      5.Rencanakan kehamilan/hindari kehamilan .

      Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE.

      1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID):

      NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobaati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efeksamping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik.

      2. Antimalaria

      Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat initelah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrfil, dam metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghaambat reaksi kulit karena sinar UV. Bebrapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan koSLEterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak.

      Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efk sam ping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, daan neurologis (jarang).

      3. Kortikosteroid

      Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekaanisme antiinflamasi dan amunosuprefit. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon.

      Pada SLE yang ringan (kutneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednison2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat ataau SCLE, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus.

      Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid:

      1. Regimen I: daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hemotologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3-10 minggu untuk glomerulonephritis.
      1. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat dari pada terapi oral setiaap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.
      2. Regimen III: kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide.

      Setelah kelaainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose.

      4. Methoreksat

      Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyaakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atauazathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, eektif sebagai “steroid sprring agent” dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansarge dkk. Melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria.

      Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah:lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap,tes fungsi ginjal dan hepar.pada penderita dengan efek samping gastrointestinal,pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut.

      5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain.

      Azathhioprine (Imuran AZA)

      Cylophosphamide (chitokxan, CTX)

      Chlorambucil (leukeran, CHL)

      Cyclosporine A

      Tacrolimus (FK506)

      Fludarabine

      Cladribine

      Mycophenolate mofetil

      6. Terapi hormonal

      Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS)

      Danazol

      7. Pengobatan Lain

      Dapsone

      Dapsone, atau 4.4’- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun  yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan  dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis.

      Clofazimine (Lamprene)

      Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering.

      Thalidomide

      Thalidomide dengan dosis50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai 5o mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).

      Immunoglobulin intravena

      Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia iun, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2 k/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat.

      External Device

      Terdapat beberapa teknik eksternal  yang kegunaannya pada SLE agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoadsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340-400nm), and iradiasi limfoid total.

      8. Transplantasi Sumsum Tulang

      Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih merupakan ekspwrimental untuk saat ini.

      Pengobatan Terhadap Komplikasi

      Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal.

      Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan.


      DAFTAR PUSTAKA

      1. Symposium National Immunology Week 2004,Surabaya 9-10 Oktober 2004;hal201-213.

      2. Current Medical Diagnosis and Treatment 2004;Chapter 20;Arthritis and Musculosceletal disorder ;page 805-807.

      3.  Harrisson’s Principle of Internal Medicine 15th Edition;Volume 2;page 1922- 1928.

      4.  Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I,Edisi ketiga;hal 150-159.

      5. Medical Journal : Cermin Dunia Kedokteran no.142,2004 ; hal.27-30.

      6. The Merck Manual Edisi 16 ,Jilid 2 ; hal.878-830.

      Comments (2)

      Older Posts »